RESONANSI

“Kelompok Nasi Bungkus” dan Perjuangan Masyumi

“Kelompok Nasi Bungkus.” Itulah namanya. Sebab, makanan yang dinikmati adalah nasi bungkus. Sebelum memulai rapat, peserta disuguhi nasi bungkus. Ia dibeli di Warung Padang, seberang Kantor DDII, Kramat Raya 45, Jakarta Pusat. Pertemuan rutin berlangsung setiap hari Jumat. Shalat Jumat di mana pun, mereka harus hadir di kantor DDII untuk rapat yang didahului dengan makan nasi bungkus.

Kelompok ini dianggotai tokoh-tokoh Masyumi dan para kadernya. Ia berfungsi sebagai wadah silaturrahim, informasi, komunikasi, konsolidasi, dan pembahasan masalah-masalah keumatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Pimpinan dan Anggota Nasi Bungkus

Anggota Kelompok ini terdiri dari tiga generasi. Generasi pertama Masyumi: Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, Yunan Nasution, Ali Akbar, Burhanuddin Harahap, dan Anwar Harjono. Mereka lebih banyak mengtransformasikan informasi dan pengalaman masing-masing ketika masa perjuangan, kejayaan, sampai dengan pembubaran partai Masyumi.

Namun, dr. Ali Akbar, karena usia dan kesehatan, hanya beberapa kali ikut pertemuan. Pak Yunan Nasution, sama halnya. Sebab, selain faktor usia, kesibukannya sebagai Ketua DDII DKI, juga tidak aktif. Wajar jika saya tidak sempat berdialog akrab dengan mereka.

Generasi kedua terdiri dari Rajab Ranggasoli, Noersal, Ibrahim Madilao, Mohammad Suleman, dan AM Luthfi. Pak Rajab Ranggasoli dapat dikategorikan sebagai salah seorang penasihat politik Abah Natsir. Beliau memiliki restoran Geliga yang sangat terkenal di Jakarta. Namun, restetoran ini bangkrut karena diboikot rezim. Sebab, pak Rajab, salah seorang penandatangan Petisi 50.

Pak Rajab, Sekjen PB HMI ketika Ketua Umumnya, Dahlan Ranuwihardjo (1951 – 1953), kemenakan pak Roem. Pak Rajab pernah menjadi staf pribadi Jenderal Nasution. Beliau yang mendapat informasi dari Pak Nasution bahwa, Jenderal Beny Mordhani telah perintahkan anak buahnya untuk tembak mati saya di mana pun ditemui. Itulah sebabnya, ketika saya ditemani Mutamimul Ula (Ketua Umum PB PII waktu itu) menemuinya, disampaikan hal ini: “Saudara diperintahkan untuk segera berangkat ke Malaysia. Nanti di sana, anda membantu Anwar Ibrahim,” kata Pak Rajab menyampaikan pesan Abah Natsir. Pak Rajab, dalam struktur DPP Masyumi tahun 1998, adalah salah seorang anggota pimpinan.

Pak Noersal, mantan Ketua Umum PB HMI (1957 – 1960), di DDII terkenal sebagai figur yang sangat rigit mengenai keuangan Yayasan. Maklum, beliau mantan direktur salah satu BUMN. Beliau sangat geram ketika hasil auditnya terhadap keuangan DDII, tidak dilaksanakan secara komprehensif. “Nanti saudara Abdullah bisa tinggal dengan adik saya di Malaysia,” pesan pak Noersal ke saya.

Bram, nama panggilan popular pak Ibrahim Madilao. Beliau mantan Sekjen PB PII dan juga Sekjen PB HMI (1957 – 1960). Pak Bram pernah bersama Jenderal Yusuf ketika menjadi tentara pelajar di Yogya sewaktu kota gudeg ini menjadi ibu kota negara. Beliau berhasil meloloskan diri dari eksekusi tembak mati ketika ditangkap Belanda. Menurut pak Bram, Jenderal Simatupang tidak pernah ikut bertempur. Beliau hanya mewawancarai tentara pelajar yang kembali dari pertempuran. Hasil wawancara itulah yang dijadikan sebagai bahan penulisan perang gerilya.

Pak Bram, satu-satunya alumni HMI, pengusaha yang di dalam saku celananya selalu ada buku cek. Organisasi mahasiswa Islam apa saja, baik PII, HMI, IMM, SEMMI, maupun remaja masjid yang berhubungan dengan beliau, pulang dengan tangan kosong. Syaratnya, kegiatan mereka berkaitan dengan pengaderan. Beliau akan segera keluarkan buku cek, menulisnya, langsung menyerahkan ke mereka. Namun, perusahaan apotik, ubin, dan pompa besinnya bangkrut, diboikot rezim. Sebab, pak Bram ikut tanda tangan Petisi 50.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button