NUIM HIDAYAT

Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan Insists (1)

Dengan ustadz Abdul Hanan –saat ini pimpinan Pesantren Darul Falah- saya lebih banyak silaturahmi dan berbincang. Saya terkesan kepadanya karena ilmunya juga luas. Saya pernah ditunjukkan kitab al Ihkam fi Ushulil Ahkam, dan saya terkagum-kagum dengan kitab itu. Suatu kali saya pernah bincang dengan Ustadz Hanan, saya ingin melanjutkan kuliah untuk memperdalam Islam.

Memang ide-ide Hizbut Tahrir yang mencerahkan saya ketika itu, menjadikan kuliah saya di IPB terbengkalai. Saya sudah tidak semangat kuliah. Sering bolos kuliah, sehingga semester 1 dan 2 (TPB) harus mengulang.

Saya di kampus lebih semangat mengajak dan mengorganisir teman-teman untuk pengajian daripada kuliah. Maka saya adakan pengajian di Musholla dan waktu tingkat satu di IPB itu saya sudah membuat bulletin Islam yang saya cetak sendiri, yang bernama al Ankabut. Menarik kan, namanya Jaring Laba-Laba.

Selain mengaji pada ustadz-ustadz Hizbut Tahrir itu, saya juga ikut pengajian rutin Ustadz Didin Hafidhuddin di Masjid Al Ghifari IPB. Waktunya juga bakda subuh. Yang ikut cukup banyak, mungkin 30 atau 40-an orang. Biasanya habis pengajian itu, kita langsung kuliah.

Jadi masa-masa indah di IPB itu diwarnai pemikiran Hizbut Tahrir, terutama tokohnya Taqiyudin an Nabhani. Kita bukan hanya pasif mendengarkan, tapi kita juga bergerak mendakwahkan. Bukan hanya di kampus dengan menjadi asisten dosen agama, kita juga mengembangkannya dengan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus se-Indonesia.

Menjadi asisten dosen agama, memang menyenangkan bagi saya. Karena dari situ kita bisa membimbing adik-adik kelas untuk memperdalam agama Islam. Tempatnya di masjid. Jadi bila dosen agama memberikan kuliah di ruang kelas kampus, maka asisten dosen agama memberikan ‘mentoring’ di masjid.

Sebelum mentoring biasanya kita diberikan kuliah atau pengajian oleh para ustadz atau dosen agama itu. Jadi waktu zaman saya, pemikiran Hizbut Tahrir ‘mendominasi’ kegiatan dakwah di kampus IPB dan juga di Forum Silaturahmi Dakwah se-Indonesia.

Jadi menariknya, dosen-dosen agama Islam di IPB saat itu banyak dipengaruhi pemikiran Ikhwanul Muslimin. Tapi asisten dosen agama dan aktivis Islam di masjidnya banyak dipengaruhi pemikiran Hizbut Tahrir.

Nanti akan terjadi ‘tragedi.’ Yaitu waktu saya KKN sekitar tahun 1991. Jadi dosen-dosen mencium adanya dominasi aktivis Hizbut Tahrir di pembinaan agama. Mereka tidak terima. Akhirnya asistensi dosen agama (mentoring), yang tadinya diisi satu orang, diisi dua orang. Satu dari aktivis HT, satu lagi dari aktivis Ikhwan. Jadi setelah saya mengajar adik-adik mahasiswa sekitar satu jam, maka berikutny aktivis Ikhwanul Muslimin yang mengajarnya.

Bila dalam mentoring, saya hanya memisahkan tempat duduk mahasiswa laki dan perempuan, tidak pakai dinding pemisah, maka aktivis Ikhwan itu memakai dinding pemisah untuk memisahkan laki dan perempuan. Begitulah yang terjadi.

Dan setelah itu, saya tidak jadi asisten agama lagi. Nampaknya ‘mentoring’ kemudian dipegang aktivis Ikhwan.

Pemikiran Ikhwanul Muslimin, sebenarnya tidak asing bagi saya. Buku-buku Ikhwan, saat itu dijual di Masjid al Ghifari. Sehingga meski saya belajar pemikiran HT, saya juga membaca buku-buku tokoh Ikhwan. Buku-buku Hasan al Bana, buku Zainab al Ghazali, Sayid Qutb dan lain-lain. (BERSAMBUNG)

Nuim Hidayat, Alumni IPB.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button