Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan Insists (2)
Kembali ke masa kecilku. Jadi siang itu aku selalu sekolah di Madrasah (sekolah Arab). Yang ngajar sebenarnya masih saudara dari ibuku. Namanya Mbah Bisri. Ia sangat sayang padaku. Bahkan di depan murid-murid yang lain, aku sering dipujinya. Aku kadang malu. Mungkin karena aku rajin nulis, rajin menghafal, rajin ngerjakan PR dan lain-lain, sehingga guruku menyenangiku.
Di sekolah Arab itu aku harus nulis dengan Arab Jawi/Melayu. Nggak boleh menulis dengan ‘bahasa Latin’. Ia mengajarkan Al-Qur’an, hadits, kisah-kisah dan lain-lain. Yang aku tidak lupa ketika ia mengajarkan kalimat dalam Al-Qur’an ‘Laisa lahum Thaaamun illa min dharii’ (QS al Ghasyiyah 6). Artinya, Tidak ada makanan bagi mereka selain pohon yan berduri. Kata Mbah Bisri, di neraka itu penghuninya menderita, karena makanannya berduri dan sangat pahit serta minumannya sangat panas…
Malam hari, aku ikut pengajian kitab yang diajarkan pamanku, kiai Sadili. Pamanku ini kerjaannya kalau siang dagang kain – di kolasi yang sama dengan ibuku- dan kalau malam hari ngajar ngaji. Ia selalu merokok kalau ngajar ngaji. Ilmunya cukup luas. Di samping membaca kitab, ia juga suka membaca majalah Panjimas yang ia pinjam dari bapakku. Ia juga suka membaca koran. Dalam pengajian itu ia beberapa kali mengeluh karena istrinya belum mau pakai jilbab.
Saking dekatku dengan pamanku itu, ia sering menyuruhku beli obat. Ia sering minum Bodrex. Meski kiai, ia kadang juga berantem dengan istrinya dan aku menyaksikannya. Tapi meski berantemnya kadang keras, rumah tangganya utuh sampai pamanku meninggal dunia. Pamanku meninggal di usia muda, mungkin sekitar 50 tahunan. Sebelum meninggal bapakkku sering mijat kakinya agar sembuh.
Bapak memang pembelajar dan multitalenta. Ia bisa ngajar, fotografi, melukis, tukang, memijat (refleksi), dan lain-lain. Bapak pendiam. Lebih banyak mikir dan beraksi. Hampir tidak pernah ngobrol yang tidak ada gunanya.
Tapi meski kalem dan pendiam, bapak sikapnya tegas. Ketika menjadi kepala sekolah, ia pernah membakar ‘kartu-kartu ucapan natal yang banyak dari orang-orang Kristen’ di depan rumah. Ia membakar kartu-kartu itu denganku.
Pamanku itu mengajar Tafsir al Ibriz, Fathul Qarib dan lain-lain. Setelah kiai Sadili meninggal, aku pindah berguru dengan kiai Kahar di kampungku. Kiai Kahar saat itu menggunakan rumahnya untuk pengajian. Rumahnya sederhana, tapi intelektual dan bacaan kitabnya hebat. Tempat ngajiku yang baru ini sekitar 300 meter dari rumahku. Aku sering menggunakan sepeda ngaji ke situ. Dan kadang-kadang aku ajak teman-teman untuk mengaji di situ. Diantaranya yang kuajak adalah Yosef almarhum, mantan lurah di desaku.
kiai Kahar kalau mengajar menarik. Ia sering menyelipkan syair-syair berbahasa Arab ketika ngajar. Yang tidak bisa kulupa ketika ia mengajar kitab Ushfuriyah. Selain yang mengajar Kiai Kahar, di tempat itu juga aku juga diajar oleh Kiai Sumadi dan Kiai Syamsul. Pelajarannya Tauhid, ‘Tafsir’ dan lain-lain. Kiai Sumadi dan Kiai Syamsul, juga pedagang kain di pagi harinya. Sore atau malamnya mengajar ngaji. Mereka pintar membaca kitab gundul semua.
Setelah kiai Kahar meninggal, aku melanjutkan ngaji pada kiai, Kiai Syamsul dan kiai Arifin.
Begitulah ngajiku berpindah-pindah kiai, pada SD atau SMP itu. Ketika SMA ‘ngajiku mulai berkurang’. Meski terus ngaji. Mungkin karena pengaruh pergaulan anak kota Cepu. Teman-temanku di SMA ku memperkenalkanku dengan tarian breakdance, film James Bond, Phil Collins dan lain-lain.
Dan aku mulai merasakan ‘getaran cinta’ ketika. Yaitu ketika teman sekelasku namanya Umi sering mendekatiku. Bayangkan gimana hatiku tidak bergetar, ia kadang duduk sebangku denganku. Dan karena masalah ini pelajaranku jadi terganggu. Ketika SMA itu aku beberapa kali rangking nomor dua.