NASIONAL

HKTI: Omnibus Law Ciptaker Ancam Sektor Pangan dan Pertanian

Jakarta (SI Online) – RUU Omnibus Law Cipta Kerja potensial kian memperlemah petani dan sektor pertanian kita.

Demikian kesimpulan dari Kongres Tani VIII bertema “Pertanian, Petani dan Organisasi Tani dalam Omnibus Law” yang digelar di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Jumat, 13 Maret 2020.

Kongres yang diikuti oleh sejumlah organisasi petani tersebut, merupakan pendahuluan dari rangkaian Munas IX Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

“Kalau kita baca RUU Omnibus Law Cipta Kerja, setidaknya ada tujuh undang-undang di bidang pangan dan pertanian yang akan terdampak oleh Omnibus Law Cipta Kerja” ungkap Ketua Umum HKTI Fadli Zon.

Tujuh undang-undang itu adalah UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 13/2010 tentang Hortikultura, UU No. 18/2012 tentang Pangan, UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, hingga UU No. 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.

Fadli menjelaskan, beberapa imbas dari draf omnibus law yang bakal berpengaruh terhadap sektor pangan dan pertanian di antaranya adalah terjadinya pelonggaran aturan impor, kian mudahnya alih fungsi lahan, serta terjadinya pelonggaran aturan lingkungan.

“Secara umum, saya melihat RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini efeknya negatif bagi sektor pangan dan pertanian. Sehingga, berbagai organisasi tani merekomendasikan agar RUU Omnibus Law Cipta Kerja ditarik kembali oleh Pemerintah untuk diperbaiki,” kata Fadli.

Anggota Komisi I DPR ini mencontohkan, Omnibus Law Cipta Kerja telah menempatkan impor pangan sebagai prioritas penting dalam manajemen stok pangan. Hal ini tentu saja ironis, mengingat kita adalah negara agraris. Baru pertama kalinya terjadi impor disebut dalam undang-undang sebagai sumber pangan nasional. Meskipun dalam praktiknya selama ini selalu ada impor pangan—dengan berbagai alasan, namun memasukkan impor sebagai sumber pangan dalam undang-undang adalah bentuk kian lemahnya komitmen kita terhadap sektor pertanian.

Dulu, kata Fadli, impor dilakukan jika produksi dalam negeri dan cadangan yang ada tidak mencukupi kebutuhan. Namun, dalam draf Omnibus Law, impor pangan kini ditempatkan setara produksi dalam negeri dan cadangan pangan.

“Artinya, kini impor tidak lagi ditempatkan sebagai jalan terakhir (the last resort), namun bisa dilakukan kapan saja. Sebab, syarat-syarat kapan impor pangan bisa dilakukan kini sudah tak ada lagi, telah dihilangkan,” jelas dia.

Fadli juga menyoroti alih fungsi lahan. Dengan omnibus law, alih fungsi lahan akan semakin mudah dan dipermudah, terutama untuk kepentingan pembangunan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), real estate, tol, bandara, atau kegiatan pertambangan. Itu merupakan imbas dihapuskannya keharusan dilakukannya kajian kelayakan alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah. Semua itu tentu saja akan merugikan sektor pertanian.

“Omnibus Law Cipta Kerja juga akan berdampak negatif terhadap sektor pertanian karena bersifat melonggarkan aturan-aturan lingkungan hidup. Padahal, lingkungan adalah faktor penting dalam isu pangan dan pertanian,” kata dia.

Dengan catatan-catan kritis itu Fadli merekomendasikan agar RUU Omnibus Law Cipta Kerja ditarik lagi oleh Pemerintah untuk diperbaiki. Pemberian judul Cipta Kerja menurut Fadli juga agak kurang jujur, karena kontennya justru jauh dari mewakili kepentingan para pekerja.

red: shodiq ramadhan

Artikel Terkait

Back to top button