HNW: Aturan Pengeras Suara Masjid Bisa Hadirkan Disharmoni
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengapresiasi keinginan untuk menghadirkan harmoni antara umat beragama. Namun ia mengkritisi Surat Edaran Menteri Agama No. 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla.
Menurutnya, surat edaran yang ditujukan menghadirkan harmoni, tetapi diberlakukan secara generalisasi dan tidak mempertimbangkan “kearifan” lokal, sehingga dikhawatirkan malah dapat berbalik menciptakan keresahan, saling curiga dan disharmoni di kalangan masyarakat yang terhubung dengan Masjid dan Mushalla.
“Seharusnya, sebelum membuat surat edaran, Menag terlebih dahulu membuat kajian yang objektif dan komprehensif, serta berkomunikasi terlebih dengan para wakil rakyat di Komisi VIII DPRRI, yang membidangi urusan agama. Karena mereka seperti saat reses sekarang ini, menyerap aspirasi konstituen dan warga, termasuk yang terkait dengan masjid dan mushalla serta masalah harmoni antar umat beragama. Dan saya pun mendapatkan banyak aspirasi warga yang hampir semuanya menyayangkan dan tidak sependapat dengan Surat Edaran baru tersebut,” ujar HNW melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (23/02).
HNW mengatakan, sejatinya pengaturan mengenai penggunaan pengeras suara ini sudah ada sejak 1978, yakni melalui Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kep/D/101/1978. Kemudian dipertegas kembali keberlakuannya melalui Surat Edaran Dirjen Bimas Islam pada 2018.
“Ini sebenarnya bukan aturan yang baru, SE itu sudah ada sejak 44 tahun lalu. Namun, sayangnya, SE yang dikeluarkan oleh Menteri Agama saat ini berbeda secara mendasar karena generalisisasi pemberlakuannya di seluruh Indonesia, tanpa menyebutkan kembali soal kearifan lokal, serta objektifitas membedakan masjid dan mushalla di kawasan kota dan desa, di kawasan mayoritas Muslim atau minoritas Muslim. Sekalipun tidak disebut adanya faktor krussial yang menjadi sebab serius mengapa Surat Edaran itu dinaikkan kelasnya, dari Surat Edaran Dirjen menjadi Surat Edaran Menteri,” jelas Anggota Komisi VIII DPR RI itu.
“Mestinya disebutkan fakta-fakta dalam rentang waktu empat tahun dari tahun 2018 saat masih berbentuk Surat Edaran Dirjen Bimas Islam hingga tahun 2022 saat dinaikkan kelas menjadi Surat Edaran Menteri, mestinya disebutkan ada masalah-masalah disharmoni apa, sehingga SE tersebut perlu dinaikkan kelasnya, dari SE Dirjen menjadi SE Menteri,” tambahnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan bahwa Instruksi Dirjen Bimas Islam pada 1978 malah lebih baik, dan mestinya dalam rangka menghadirkan harmoni, justru Surat Edaran Dirjen itu diperbaiki untuk diperkuat, karena berlaku objektif dan adil, dengan mempertimbangkan aspek lokalitas, dan kebudayaan masyarakat setempat.
Menurutnya, instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut menyebutkan bahwa ketentuan ketat terhadap penggunaan pengeras suara di masjid dan musalla diberlakukan untuk kota besar, seperti ibu kota negara, ibukota provinsi dan ibukota kabupaten/kota dimana penduduknya beraneka ragam, baik dari segi agama, jam kerja dan lain sebagainya.
“Namun, Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut juga mengecualikan pengaturan tersebut untuk masjid, langgar dan mushalla di desa/kampung, dengan tetap memperhatikan tanggapan dan reaksi masyarakat. Itu surat edaran yang bijak. Sayangnya, SE Menag yang baru ini tidak membuat pengecualian tersebut, malah diberlakukan secara general, dipukul rata untuk semua daerah di Indonesia, sekalipun juga tidak ada laporan adanya masalah serius yang massif dengan terjadinya disharmoni akibat dari pengeras suara dari masjid atau mushalla,” ujarnya.
HNW menjelaskan di umumnya daerah-daerah di Sumatra seperti di Aceh, Sumatra Barat, Riau, juga Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, NTB, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Utara, masyarakatnya sudah sangat harmonis dengan pengeras suara di masjid dan mushalla. Bahkan di Jakarta sekalipun.