HNW: Aturan Pengeras Suara Masjid Bisa Hadirkan Disharmoni
Dalam reses ini, ia mendapatkan aspirasi dari banyak warga dan tokoh masyarakat di Mampang, Kebayoran Lama dan Cempaka Putih, yang misalnya, mereka dengan tegas mengatakan bahwa selama ini tidak ada masalah dengan pengeras suara dari masjid atau mushalla yang kumandangkan suara adzan, pengajian, tarhim dan lainnya.
“Salah satu tokoh FKDM, Pak Warli, malah menyampaikan bahwa Surat Edaran Menag itu justru bisa jadi beban di tengah warga sehingga bisa memicu terjadinya disharmoni. Karenanya beliau meminta agar SE Menag no 05/2022 itu dikaji ulang saja”, jelasnya.
Maka HNW khawatir, sebagaimana temuan di Jakarta seperti Cempaka Putih, Mampang, Kebayoran Lama dll, sikap yang mentgeneralisir seperti dalam Surat Edaran itu justru akan menimbulkan disharmoni di kalangan masyarakat, karena di daerah-daerah itu memang tidak ada masalah dengan penggunaan pengeras suara di masjid/mushalla untuk kepentingan syiar agama Islam.
“Mereka yang sudah harmoni dan tidak ada masalah dengan pengeras suara, seharusnya cukup diberi rambu-rambu umum soal pentingnya peran masjid dan mushalla dan oengeras suaranya dalam menjaga dan menguatkan harmoni dan kerukunan umat beragama,” tukasnya.
HNW berpendapat seharusnya Menag juga fokus mengatasi persoalan yang ada di masjid dan masyarakat di lingkungan masjid. Karena pada periode 2018 saat SE masih di Dirjen, hingga 2022 saat SE naik kelas jadi tingkat Menteri, bukan soal Pengeras suara yang menjadi isu nasional, melainkan makin banyak kasus teror dan tindakan kriminal terhadap Masjid yang jadi korban vandalisme, Imam Masjid ada yang dianiaya sampai wafat (di Jateng dan Sulawesi), ada yang diserang sesudah mengimami shalat Isya (di Pekanbaru), ada ustadz seperti Syekh Ali Jaber yang diserang saat lagi memberikan pengajian di dalam masjid, ada kotak amal dicuri dari dalam masjid, selain adanya Pengeras suara yang sudah tua yang bisa mengakibatkan suara tidak bagus, tapi belum bisa diganti karena keterbatasan kas keuangan masjid.
“Dalam rangka menghadirkan harmoni masjid dan musholla dengan masyarakat sekitarnya terkait masalah-masalah yang menjadi isu nasional di atas, lebih tepat kalau Kemenag bukan hanya membuat SE (Surat Edaran), tapi membuat program bantuan langsung bagi masjid dan musholla untuk memasangkan CCTV dan insentif untuk bagian keamanan masjid/mushalla, untuk meningkatkan keamanan bagi Imam, muadzin, ustadz maupun jamaah, juga adanya bantuan keuangan bagi masjid/mushalla untuk memperbaiki atau membeli speaker yang bagus, sehingga bisa hadirkan suara yang menenteramkan, bagus dan tidak sumbang,” tuturnya.
Selain itu, HNW juga setuju dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berharap agar Surat Edaran itu tetap harus adil, memperhatikan maslahat masyarakat, tidak digeneralisir, dan proporsional agar pengaturan rumah ibadah hadirkan harmoni, sehingga tidak hanya menyasar kepada rumah Ibadah dari satu Agama saja seperti masjid atau musholla, tetapi juga terhadap rumah-ruman ibadah dari agama yang lain.
“Pandangan MUI ini wajar, karena Menag sendiri sering menegaskan bahwa dirinya adalah Menteri Agama, bukan hanya Menteri Agama Islam, tapi menteri untuk semua agama yang diakui di Indonesia. Dan tentunya semua agama, umat beragama dan rumah-rumah Ibadahnya juga ingin menghadirkan harmoni dengan warga dan sesama. Dan Menteri Agama perlu membantu merealisirnya. Maka sewajarnya kalau SE Menag No. 05 tahun 2022 itu direvisi dan dikoreksi, agar bisa berperan hadirkan harmoni untuk semua agama dan rumah-rumah ibadatnya, dan tidak malah menjadi penyebab terjadinya disharmoni,” pungkasnya.
red: adhila