NASIONAL

Kemenag Mau Diubah Jadi Kementerian Haji dan Wakaf? Ini Kata Mantan Waka BIN

Jakarta (SI Online) – Beredar di grup WhatsApp (WA) mengenai wacana perubahan Kementerian Agama menjadi Kementerian Urusan Haji dan Wakaf.

Bahkan, tak hanya itu, dalam pesan tersebut juga memuat rencana perubahan tentang aturan nikah, talak, dan rujuk yang pada intinya hendak meniadakan proses pernikahan secara agama.

“Saya menduga WA tersebut hoax,” ujar mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (Waka BIN) KH As’ad Said Ali melalui laman facebooknya, dikutip Selasa (23/02/2021).

As’ad lantas mengaku terpanggil untuk menanggapi kabar hoax itu lantaran beberapa tahun lalu ada pihak yang mewacanakan perubahan fungsi Kemenag seperti dalam pesan dalam WA grup tersebut.

Ia mengingatkan, pada dasarnya pembentukan Kemenag ada kaitannya dengan proses berdirinya NKRI yang berdasarkan Pancasila. Kemenag adalah wujud kesepakatan di antara pendiri negara bahwa Indonesia bukan negara yang mengikuti sekulerisme dan bukan pula dimaksudkan sebagai negara teokrasi.

“Oleh karena itu kalau wacana tersebut benar ada, persoalannya ‘tidak sederhana’ karena menyangkut persoalan sejarah dan aspek yang mendasar,” ungkap mantan Wakil Ketua Umum PBNU itu.

As’ad memaparkan, dalam buku peringatan lahirnya Kemenag (Depag) tahun 1951, Menteri Agama almarhum KH Wahid Hasyim megatakan bahwa lahirnya Depag menimbulkan reaksi dari dua pihak yang berlawanan.

Pertama, kaum pendukung sekularisme yang menolak kehadiran agama dalam urusan negara. Kedua, kaum yang bereuforia, merayakan secara berlebihan sebagai kemenangan umat Islam. Mereka ini, kata As’ad, yang mendukung negara teokrasi.

Padahal, menurut KH Wahid Hasyim, lahirnya Depag harus dipandang sebagai tugas besar bagi kaum muslimin yang merupakan mayoritas untuk menegakkan persatuan bangsa khususnya dengan membangun dan menjaga ‘toleransi beragama.’

Menurut As’ad, pernyataan KH Wahid Hasyim itu terkait erat dengan peresmian lambang Garuda Pancasila oleh Presiden Sukarno, yang di bawah kakinya tertulis semboyan Bhineka Tunggal Ika di atas pita yang dicengkeram kuat oleh burung Garuda.

Ia menambahkan, toleransi, khususnya toleransi beragama secara garis besar mengandung norma yang bersifat universal. Tetapi, kata dia, tidak bisa dihindarkan ada kekhususan bagi suatu negara.

“Sebagai contoh ada suatu negara di Eropa (sekuler) meskipun mengizinkan didirikan tempat ibadah umat Islam, tetapi melarang pendirian menaranya dengan alasan tidak merupakan budaya atau tradisi negara tersebut,” jelasnya.

Mengenai toleransi di Indonesia, As’ad berpandangan toleransi telah berlangsung dengan baik dan hal itu telah diakui oleh dunia. Namun ia tidak memungkiri bila dengan perkembangan globalisasi dan revolusi teknologi informasi, arus gerakan radikal terus meningkat. Sehingga, sambung dia, diperlukan penguatan kehidupan toleransi beragama dan dalam kehidupan berbangsa.

red: farah abdillah

Artikel Terkait

Back to top button