NASIONAL

HNW: Kemenag Tidak untuk Diklaim atau Dibubarkan, tetapi untuk Realisasikan Tujuannya

“Dalam periode itu, Departemen yang khusus mengurusi agama belum ada, karena ditolak oleh beberapa pihak seperti J Latuharhari maupun Ki Hajar Dewantara. Tapi kemudian Presiden Soekarno menyetujuinya, setelah diperjuangkan oleh beberapa anggota KNIP dari Partai Masyumi dan dari ormas Al Irsyad, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain,” ujarnya.

“Akhirnya Pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 1/S.D. pada 3 Januari 1946 yang memutuskan mengadakan Departemen (nanti menjadi menjadi Kementerian) Agama dan mengangkat HM Rasyidi (yang dikenal sebagai tokoh dari Muhammadiyah) sebagai Menteri Agama yang pertama sesudah diresmikannya Departemen Agama. Hari itulah, 3/1/1946, yang ditetapkan menjadi hari lahir Departemen (Kementerian) Agama, yang setiap tahunnya diperingati di Kemenag,” ujarnya.

HNW mengatakan bahwa Presiden Soekarno yang membuat Ketetapan adanya Depag, maupun para pengusulnya di KNIP, serta HM Rasyidi tokoh Muhammadiyah yang diangkat Presiden Soekarno sebagai Menag, bahkan KH Wahid Hasyim yang sebelumnya diangkat oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Negara Urusan Agama, tidak pernah mengklaim baik dalam forum tertutup maupun terbuka, bahwa Depag adalah hadiah khusus untuk ormas tertentu, dan bukan untuk umumnya umat Islam.

Namun, mereka memperjuangkan dan menyepakati adanya Departemen Agama, agar agama dan umat beragama di Indonesia dapat diurusi oleh departemen/kementerian secara tersendiri.

“Jadi yang paling utama adalah merelasasikan tujuan dihadirkannya Depag, bukan klaim hadiah khusus untuk ormas tertentu yang memantik tuntutan agar bila demikian, Kemenag dibubarkan saja. Kenegarawanan para bapak bangsa dan Menteri-Menteri Agama pada zaman perjuangan itulah yang menghadirkan sikap negarawan inklusif, toleran, moderat dan berukhuwah. Terbukti bahwa para ulama dan santri dari beragam ormas dan orpol Islam bisa menerima latar belakang Menag yang juga beragam, tidak khas dari ormas tertentu saja; ada dari Muhammadiyah, NU, Syarikat Islam, bahkan dari Partai Politik seperti Masyumi, belakangan bahkan juga ada dari intelektual kampus, juga yang dari TNI. Mereka bisa saling menghormati, bukan saling mengklaim atau menegasikan,” ujarnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan bahwa sangat jelas dan diakui peran tokoh-tokoh NU memang sangat besar dalam pembentukan Indonesia Merdeka, dengan Pancasila, UUD NRI 1945, maupun NKRInya. Namun, ia mengatakan tokoh NU yang aktif dalam rapat-rapat di BPUPK, Panitia Sembilan yang hadirkan Piagam Jakarta, maupun PPKI yag sepakati rumusan final Pancasila (18/8/1945) adalah KH Wahid Hasyim putra Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, bukan KH Wahab Hasbullah sebagaimana disebutkan oleh Menag Yaqut.

“Saya seringkali menyampaikan ini dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, bahwa peran ulama dari NU sangat diakui; termasuk KH Wahid Hasyim, dan KH Hasyim Asyari serta KH Wahab Hasbullah, beserta tokoh Islam dari ormas lainnya seperti, KH Kahar Mudzakkir, Ki Bagus Hadikusumo atau Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), H Agus Salim, H Abikusno Tjokrosuyoso, M Natsir (Partai Masyumi) dan tokoh nasional/bapak-bapak bangsa lainnya. Mereka sekalipun berlatar belakang ormas Islam dan parpol Islam berbeda, bisa bahu membahu memperjuangkan diadakannya Departemen Agama. Itu juga pelaksanaan terhadap penerimaan umat bahwa sila pertama dari Pancasila yang merupakan dasar Negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelasnya.

HNW menambahkan para tokoh nasional itu sudah berhasil, dan mestinya para santri dicerahkan dengan sejarah ini. Dan para pejabat termasuk Menag, menjadi teladan untuk melaksanakannya, baik dalam ungkapan maupun dalam kebijakan. Agar kehadiran Kementerian Agama betul-betul bisa merealisasikan tujuan kehadirannya.

“Sehingga membawa manfaat yang luas dan mendasar untuk semua agama dan umat beragama, agar berkontribusi maksimal realisasikan cita-cita proklamasi dan reformasi. Agar tidak malah menjadi sumber kegaduhan dengan klaim dan polemik yang tidak diperlukan oleh santri, umat Beragama maupun NKRI, apalagi yang kini terdampak akibat pandemi Covid-19,” pungkasnya.

red: adhila

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button