SYARIAH

Hukuman bagi Pelaku Homoseksual

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 31 Desember 2014 lalu, telah mengeluarkan fatwa No. 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan.

Dalam fatwa tersebut ditetapkan sejumlah ketentuan hukum seputar lesbian, gay, sodomi dan pencabulan, diantaranya bahwa homoseksual, baik lesbi maupun gay hukumnya haram dan merupakan bentuk kejahatan (jarimah). Pelaku homoseksual, baik lesbian maupun gay, termasuk biseksual dikenakan hukuman hadd dan/atau ta’zir oleh pihak yang berwenang.

Hudûd secara istilah adalah sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ (nash) bagi suatu tindak kemaksiyatan untuk mencegah pelanggaran pada kemaksiyatan yang sama. Sementara ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri.

Dalam Islam, LGBT dikenal dengan dua istilah, yaitu Liwath (gay) dan Sihaaq (lesbian). Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Sedangkan Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz 4/hal. 51).

Untuk pelaku liwath ada peringatan dalam Alquran dan Hadits. Al-Qur’an menyatakan liwath sebagai perbuatan keji. (lihat QS. Al-A’raf ayat 80-81). Alquran juga menjelaskan sanksi Allah bagi kaum Luth, yakni bahwa Allah Swt memberi sanksi kepada mereka dengan khasf (dilempar batu hingga mati). (lihat QS Hûd [11]: 82)

Sedangkan menurut Sunnah, telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dari ‘Amru bin ‘Amru dan Nabi Saw bahwa beliau bersabda, “Terlaknatlah orang yang mengerjakan perbuatannya kaum Nabi Luth”.

Hukum syara’ dalam sanksi liwâth adalah bunuh; baik muhshan maupun ghairu muhshan. Setiap orang yang terbukti telah melakukan liwâth, keduanya dibunuh sebagai hadd baginya. Dalil yang demikian itu adalah Sunnah dan Ijma’ Shahabat.

Adapun Sunnah, dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbâs ra berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ”Barangsiapa yang kalian dapati sedangkan melakukan perbuatannya kaum Luth, maka bunuhlah keduanya.” Diriwayatkan oleh Imam yang lima kecuali Nasa’iy.

Hukum liwâth adalah dengan dibunuh dan boleh membunuh dengan cara rajam, gantung, ditembak dengan senapan, atau dengan wasilah yang lain. Karena hukum liwâth adalah hukuman mati, uslub atau wasilah yang digunakan untuk membunuh boleh berbeda-beda, karena yang penting adalah menjatuhkan hukuman mati.

Adapun Ijma’ Shahâbat, sesungguhnya para shahâbat berbeda pendapat dalam menetapkan uslub (cara) untuk membunuh pelaku liwâth, akan tetapi mereka sepakat untuk membunuhnya.

Baihaqiy mengeluarkan hadits dari ‘Alî ra bahwa beliau ra merajam pelaku liwâth. Baihaqiy juga mengeluarkan dari Abû Bakar ra bahwa beliau mengumpulkan para shahâbat untuk membahas kasus homoseksual. Diantara para shahâbat Rasulullah itu yang paling keras pendapatnya adalah ‘Alî bin Abi Thâlib ra. Ia mengatakan, ”Liwâth adalah perbuatan dosa yang belum pernah dilakukan oleh umat manusia, kecuali satu umat (yakni umat Luth) sebagaimana yang telah kalian ketahui. Dengan demikian kami punya pendapat bahwa pelaku liwâth harus dibakar dengan api. Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari bapaknya dari ‘Alî bin Abi Thâlib selain dari kisah ini berkata, ”Rajam dan bakarlah dengan api.”

Baihaqiy mengeluarkan dari Ibnu ‘Abbâs bahwa beliau ditanya tentang had pelaku liwâth, beliau ra berkata, ”Jatuhkanlah dari atas bangunan yang paling tinggi di suatu daerah, kemudian hujanilah dengan lemparan batu.” Diriwayatkan dari ‘Alî ra, ”Bahwa beliau membunuh pelaku liwâth dengan pedang, kemudian membakarnya, karena demikian besar dosanya.” ‘Umar dan ‘Utsman berpendapat, ”Pelaku ditimpuki dengan benda-benda keras sampai mati.” Semua ini adalah pendapat yang menunjukkan bahwa had liwâth adalah dibunuh, walau uslub pembunuhannya berbeda-beda.

Had liwâth dapat dijatuhkan dengan syarat, pelaku liwâth baik pelaku (fail) maupun yang dikumpulinya (maf’ul bih); baligh, berakal, karena inisiatif sendiri, dan ia terbukti telah melakukan liwâth dengan bukti syar’iyyah, yaitu, kesaksian dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Seandainya pelaku liwâth adalah anak kecil, orang gila, atau dipaksa dengan pemaksaan yang sangat, maka ia tidak dijatuhi had liwâth.

Sedangkan bagi para pelaku lesbian, hukumannya adalah ta’zir. Imam Malik berpendapat, wanita yang melakukan sihaq (lesbi), hukumannya dicambuk seratus kali. Jumhur ulama berpendapat, wanita yang melakukan sihaq tidak ada hadd baginya, hanya saja ia di-ta‘zir, karena hanya melakukan hubungan yang memang tidak bisa dengan dukhul (menjima’i pada farji), dia tidak akan di-hadd sebagaimana laki-laki yang melakukan hubungan dengan wanita tanpa adanya dukhul pada farji, maka tidak ada had baginya. Dan ini adalah pendapat yang rojih (yang benar). [Lihat Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqhus Sunnah, Juz 4/Hal. 51)]. Wallahu a’lam bishshawab.

Artikel Terkait

Back to top button