Ibnu Rusyd, Ulama yang Mengguncang Kota Paris dan Eropa
Ibnu Rusyd (14 April 1126 M – 10 Desember 1198 M), mujtahid mazhab Maliki pengarang Bidayatul Mujtahid dan filsuf Muslim terkemuka Andalusia merupakan tokoh kunci revolusi ilmiah dan budaya renaissance. Statement yang terkesan mengada-ada tersebut sesungguhnya bukan isapan jempol belaka. Ulama yang juga dikenal sebagai salah satu dokter dan filsuf terbesar Muslim sepanjang sejarah tersebut merupakan tokoh yang menyebarkan filsafat dan pemikiran rasional Islam ke Barat, justru setelah kematian dirinya sendiri. Tahun 1230-an, Michael Scot, seorang astrolog, saintis, matematikawan dan filsuf Skotlandia Abad Pertengahan menyebarkan karya-karya Ibnu Rusyd melalui terjemahannya di kota Paris.
Ulah Michael Scot tersebut tentu saja berdampak besar di lingkup akademisi kota Paris mengingat rasionalisme Islam semacam pemikiran Imam Ibnu Rusyd bertolak belakang dengan kejumudan dan keterbelakangan pemikiran Kristen Abad Pertengahan (Abad kegelapan, istilah Barat) yang penuh dengan takhayul serta dogma-dogma Gereja yang kaku. Dunia akademis dan kaum terpelajar Paris pun bergolak sekaligus terguncang selama beberapa dekade oleh pemikiran rasional yang dulu dianggap ‘nyeleneh’ oleh Gereja Roma tersebut.
Tahun 1269, soko guru teologi dan filsafat Kristen, Thomas Aquinas yang legendaris serta begitu dihormati oleh dunia Kristen, mengunjungi Paris yang dahulu belum berstatus sebagai kota mode, sekalipun sudah menjadi kota metropolis Eropa di masanya. Saat kunjungannya tersebut, filsuf yang besar reputasi maupun besar secara fisik (Aquinas memiliki badan besar) ini dikejutkan dengan popular culture para akademisi di Universitas Paris. Ia terkejut bukan oleh ketaatan beragama dan keimanan orang-orang Paris, akan tetapi sebaliknya, keberanian mahasiswa dan para intelektual Kristen di Paris memperbincangkan filsafat alam rasional khas Ibnu Rusyd serta mendiskusikan dunia, manusia dan alam semesta secara ilmiah serta rasional, tanpa didasarkan pada dogma-dogma Gereja Roma.
Pemikiran corak Peradaban Islam mulai menampakan pengaruhnya lewat Ibnu Rusyd melalui kerja Michael Scot. Thomas yang begitu dihormati dan dipuja di dunia Kristen Eropa Abad Pertengahan pun sampai tidak mampu membendung diskusi-diskusi dan wacana pemikiran populer culture filsafat ilmiah-rasional dari karya-karya Ibnu Rusyd yang menggejolak di Paris, padahal hal itu dianggap tradisi kafir oleh Gereja Roma.
100 tahun kemudian, dekade 1330-an, pemikiran filsafat rasional dan filsafat alam sudah bukan barang tabu lagi meskipun masih dikutuk oleh Gereja Roma. Pada masa itulah filsafat rasional dan ilmiah, sebagai kunci pemikiran serta budaya menuju renaissance Eropa (awal zaman modern) tersebut ‘menyeberang’ ke negeri Inggris dan Polandia. Khusus Polandia, negeri tersebut di abad berikutnya melahirkan tokoh kunci renaissance Eropa, Copernicus.
Rahimahullah Ibnu Rusyd, murid dari ilmuwan Islam Andalusia Ibnu Thufail ini, sekalipun selama hidupnya mengabdi di Andalusia, serta jasad fisiknya terbaring di Maroko, namun filsafat dan pemikirannya begitu mempengaruhi Eropa secara mendalam, sehingga hampir tak terbayangkan renaissance Eropa tanpa seorang Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd dianggap oleh peradaban Islam dan Eropa sebagai orang yang menemukan filsafat Aristoteles sejati, di mana pemikiran Aristoteles dimodifikasi dan diperbaiki menjadi sesuai dengan agama, khususnya agama Islam.
Thomas Aquinas sang soko guru teolog Kristen yang pada awalnya malu-malu untuk menerima pemikiran dan filsafat Ibnu Rusyd, di masa belakangan justru terpengaruh berat imam mazhab maliki tersebut. Alasannya, filsafat Ibnu Rusyd mendamaikan pemikiran rasional, ilmiah dengan keimanan pada Tuhan dan agama yang selama ribuan tahun justru dicari-cari umat Kristen. Ibnu Rusyd mengguncang Paris, kemudian Eropa serta memantik api revolusi renaissance, yang berkobar tiga abad kemudian setelah wafatnya. Ia merevolusi Eropa tanpa kehadiran fisiknya.
Ilham Martasyabana
Penggiat Sejarah Islam