Idulfitri di Hari yang Sama, Mungkinkah?
Dan perbedaan mathla’ adalah sunnatullah fil kaun, hukum Allah dalam ciptaan alam raya, yang tidak mungkin berubah.
Sebaliknya pendapat yang kedua optimis dan dengan tegas menyatakan, sangat mungkin untuk menyatukan awal Ramadhan dan Hari Raya (Idulfitri). Pendapat yang kedua ini adalah pendapat Jumhur Ulama, yakni pendapat mayoritas Ulama Imam Madzhab.
Al-‘Allamah Syeikh Abdurrahman al-Jazairi, menuturkan bahwa Jumhur Ulama Ahli Fiqh berpendapat: Apabila bulan sudah terlihat di suatu negeri dan berita telah menyebar sampai ke negeri yang lain, wajib shaum bagi seluruh negeri tersebut tanpa membedakan jarak dekat dan jauh.
Menurut pendapat ini perbedaan mathla‘, mutlak tidak menjadi patokan, tidak menjadi alasan dan pertimbangan. Pendapat ini dianut oleh tiga Imam Madzhab Fiqh, Hanafi, Maliki, dan Hambali. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,1/446)
Imam Syafi’i Rahimahullah, berbeda pendapat dengan Jumhur Ulama. Dengan dasar hasil dialog Ibnu Abbas dan Kuraib dalam hadits Shahih Muslim No. 1087 di atas, Imam Syafii menegaskan bahwa: masing-masing negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri.
Dalam alam kebebasan berpendapat seperti sekarang, suara terbanyak atau suara mayoritas bisa memaksakan kehendak walaupun suara mayoritas hanya berjumlah separuh lebih satu.
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa selama berabad-abad umat Islam sedunia tak terkecuali, termasuk pengikut tiga Imam Madzhab yakni Hanafi, Maliki dan Hambali juga sama mengikuti pendapat Madzhab Syafii.
Belakangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan terkini Syeikh Utsaimin juga memfatwakan bahwa masing-masing negeri mempunyai rukyat sendiri.
Bahkan Fatwa Lajnah Da’imah Arab Saudi yang bermadzhab resmi Hambali, menjawab pertanyaan para aktivis da’wah di beberapa negeri Afrika, seperti Pantai Gading, Gana, Mali, dan Sinegali tentang Rukyat Hilal Ramadhan dan 1 Syawal, Fatwa Lajnah Da’imah No.313 ini menganjurkan agar mereka mengikuti rukyat yang ditetapkan oleh pemerintah di negerinya masing-masing. (Fatawa 10/98)
Sebagai penganut resmi Madzhab Hambali dan juga menjadi Madzhab Resmi Kerajaan Saudi Arabia, dengan bijak Lajnah mengembalikan permasalahan ini kepada kaum muslimin bersama pemerintah negara masing-masing tanpa memaksakan pendapat madzhabnya.
Sementara pendapat tiga tokoh Imam Madzhab Hanafi, Maliki, Hambali, yang pengikutnya tersebar banyak di benua Afrika dan Timur Tengah, termasuk India dan Pakistan, walaupun merupakan pendapat mayoritas Ulama, praktis pada masa awal perkembangan Madzhab, pendapat ini hanya teori di atas kertas. Pendapat Jumhur Ulama ini tidak dapat diterapkan, dan tidak mungkin dipaksakan untuk diterapkan karena tidak memiliki daya dukung material berupa alat komunikasi dan transportasi secanggih yang dialami dan dirasakan oleh penghuni bumi di dunia modern hari ini.
Dalam situasi dan kondisi seperti sekarang, tentu sekali pendapat Jumhur Ulama dengan mudah dapat diterapkan tanpa ada hambatan dan alasan apapun.
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily salah seorang anggota al-Majaami’ al-Fiqhiyah al- ‘Alamiyah, sebuah Lembaga Riset Fiqh Dunia, mengunggulkan (mentarjih) dan memilih pendapat Jumhur Ulama tiga Imam Madzhab tentang penyatuan Rukyat dan Hari Raya (Tauhid ar-Ru’yah wal A’yaad)
Sebagai salah seorang tokoh Ulama Madzhab Hanafi yang dikenal luas di Timur Tengah, Prof. Zuhaily menegaskan bahwa Tauhidul Ibadah merupakan prioritas utama demi menghindari timbulnya perpecahan di dalam tubuh umat Islam. Karena perintah Nabi saw. tentang penentuan awal Ramadhan dengan metode Rukyat Hilal tidak membedàkan dan memisahkan antara satu negeri dengan negeri lain.