MUHASABAH

Islam dan Perang

Perang memang berdarah-darah. Tidak ada perang tanpa darah tertumpah ruah. Perang juga, tidak mengenal kasih sayang. Memusnahkan dan meluluh-lantahkan yang kering dan yang basah. Membumihanguskan yang bernyawa dan yang tak bernyawa. Kemudian menguasai, menjajah, menindas, membodohi rakyat dan menguras kekayaan alam negrinya. Itulah wujud perang dari zaman ke zaman hingga kini.

Apakah itu yang mendasari upaya penghapusan materi perang dalam kurikulum SKI di madrasah?

Perang seperti itu dalam pandangan Islam adalah kejahatan kemanusiaan yang harus diberantas, dan pelakunya harus menerima hukuman seberat-beratnya.

Generasi muslim hendaknya bisa membedakan, mana perang yang disyari’atkan dan mana perang yang harus dikutuk dan dicerca. Perang dalam Islam adalah Perang Suci. Oleh para pejuang tanah air kita dahulu mengenalnya dengan Perang Sabil.

Kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam sebuah pertempuran, saat musuh tergeletak lemas tak berdaya dibawah telapak kakinya. Musuh masih sempat meludahi wajah Ali radhiyallahu anhu, saat pedangnya yang terhunus bergerak hendak memutuskan urat lehernya. Namun terasa bagaikan mimpi, sambil mengusap tubuhnya, sang musuh berdiri memandang Ali radhiyallahu anhu keheranan, mengapa ia tidak dibunuh?

Tak ingin kesucian jiwa dan keikhlasan hatinya dicemari oleh nafsu amarah yang seketika memuncak akibat diludahi wajahnya. Ali radhiyallahu anhu sadar bahwa jika saat itu ia membunuh musuhnya, semata-mata atas dorongan hawa nafsu setan, dan bukan lillahi karena Allah azza wa jalla.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpesan kepada para mujahidin saat diberangkatkan menuju medan jihad. Pesan seperti ini kemudian diikuti oleh para Khalifah sesudahnya:

“Jangan berkhianat, jangan lari dari medan tempur, jangan mencincang mayat, jangan membunuh hewan ternak kecuali sekedar untuk dimakan, jangan menebang pohon dan merusak tanaman, jangan membakar dan merusak bangunan, jangan membunuh anak-anak, kaum wanita, orang tua yang lanjut usia dan jangan membunuh para rahib dan pendeta yang berada di tempat peribadatan dan biara-biara mereka.”

Pesan ini masih tersimpan dalam kitab-kitab Hadits Bab Jihad.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tanda-tanda munafik pada diri orang yang tidak memiliki ruhul jihad sedikitpun. Sabdanya:

من مات و لم يغز و لم يحدث نفسه بالغزو مات علي شعبة من نفاق

“Siapa yang mati, sedangkan ia belum pernah ikut perang, dan tidak pula terbetik di hatinya niat untuk berperang, matinya diatas satu cabang nifaq.” (HR.Abu Daud, Muslim).

Begitu juga ketika datang seorang sahabat meminta izin untuk berwisata ria, beliau bersabda:

ان سياحة امتي الجهاد في سبيل الله.

Sesungguhnya Wisata Umatku adalah jihad fi sabilillah (HR.Abu Daud).

Perang Badar adalah salah satu peperangan yang paling monumental, diungkapkan oleh Al-Qur’an dengan istilah Yaumal Furqan, Hari Pemisah antara Haq dan Bathil. (QS.8:41). Kisah Perang Badar ini mengilhami setiap pembaca akan semangat pembelaan terhadap yang haq dan keberanian menumbangkan yang batil, serta tak gentar menghadapi musuh yang berkekuatan personil militer dan logistik tiga kali lipat.

Oleh karena itu, selalu tertanam dalam diri orang- orang beriman, ruhul jihad, jiwa juang dan semangat heroik, hingga bercita-cita mati dalam medan jihad sekalipun.

Khalid bin Walid begitu rindunya akan syahid di medan perang. Diakhir hayatnya, ia menangis tersedu-sedu diatas tempat tidur saat merasakan tanda-tanda ajalnya sudah dekat. Padahal hampir sekujur tubuhnya penuh dengan bekas luka kena sabitan mata pedang dan ujung tombak musuh.

Perang dalam Islam bertujuan suci dan mulia semata-mata karena perintah Allah. Untuk menegakkan keadilan, membela yang tertindas dan terzalimi, membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan dan penghambaan oleh para penguasa lalim yang bertindak sewenang-wenang.

Perang dalam Islam untuk melindungi jalannya da’wah agar seruan pembebasan dan pekikan kemerdekaan dibawah panji La ilaha illa Allah dapat sampai ke dalam lubuk hati manusia secara merata, tanpa ada tekanan, paksaan, intimidasi, dan pengaruh kekuatan apapun.

Saat itulah manusia merasa aman dan tentram, bebas merdeka memilih Islam sebagai satu-satunya jalan hidupnya.

Wallahu a’lam bishshawaab.

KH. Muhammad Abbas Aula
Pengasuh Pesantren Al-Quran wal Hadits Bogor, Waketum BKsPPI

Artikel Terkait

Back to top button