MUHASABAH

Ilusi Demokrasi

Demokrasi. Dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Slogan yang sangat familiar di telinga kita. Demokrasi seolah menjadi simbol kebebasan bagi rakyat untuk menentukan apa yang diinginkanya. Kedaulatan di tangan rakyat katanya.

Namun demokrasi tak seindah slogan yang sering digaungkan. Kedaulatan ada di tangan rakyat nyatanya hanya sebagai simbol belaka. Nyaris tanpa isi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai kejadian, yang pada akhirnya rakyat harus mengalah pada pemilik kekuasaan dan para pemodal. Semakin tebal kantong maka semakin tebal pula suaranya. Semakin tinggi jabatan maka semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap kepentingannya. Rakyat? Semakin tak terdengar suaranya.

Demokrasi nyatanya menyuguhkan tontonan yang sangat bertolak belakang dengan harapan rakyat. Lihat saja bagaimana kebijakan di negeri ini justru tidak mewakili aspirasi rakyat. Sebut saja dari kenaikan tarif BPJS Kesehatan yang sangat ditentang masyarakat, kenaikna barang bahan pokok, hingga BBM, dan yang terbaru aksi mahasiswa dan rakyat menolak revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU Permasyarakatan, RUU Pertanahan dan masih banyak lagi, nyatanya tidak mewakili aspirasi rakyat. Lalu slogan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat itu di kemanakan?

Demokrasi sejatinya rusak sejak awal. Bahkan pengusung dan pencetus demokrasi sendiri sudah mengatakan bahwa demokrasi yang berarti dari perusahan oleh perusahaan untuk perusahan, bukan rakyat. PM Inggris,Winston Churchil menegaskan bahwa demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan. John Adaams presiden kedua AS mengatakan bahwa demokrasi tidak akan pernah bertahan lama. Ia akan segera dibuang, kehilangan kekuatan dan akan menghabisi dirinya sendiri. Jadi wajar jika kebijakan yang ada di demokrasi hari ini menambah carut marutnya negeri ini. Dan pasti bukan berasal dari aspirasi rakyat. Lalu,apa yang mau diharapkan dengan demokrasi?

Konsep demokrasi yang menghilangkan peran Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta dan seisinya, menyebabkan berbagai persoalan. Demokrasi ciptaan akal manusia yang serba lemah dan terbatas ini dapat dipastikan tak akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan, yang ada hanya menimbulkan permasalahan baru yang begitu pelik. Bagai mengurai benang kusut, demokrasi kian kisut.

Berbeda dengan demokrasi, Islam justru menyandarkan segala persoalan dengan solusi dari Pencipta dan Pengatur manusia, Pemilik alam semesta dan seisinya. Dialah Allah SWT yang tak ada bandingnya. Dia berbeda dengan makhluk, sehingga sifat lemah dan terbatas mustahil dimiliki-Nya. Oleh karenanya aturan yang berasal dari Allah jelas mampu menyelesiakan persoalan sampai akar-akarnya.

Islam memiliki konsep kekuasaan di tangan rakyat, namun kedaulatan di tangan hukum syara’. Artinya yang berhak membuat hukum hanyalah Allah, Tuhan Pencipta dan Pengatur manusia. Manusia hanya menjalankannya.

Khalifah sebagai pemimpin negara memilki kewajiban untuk meriayah (mengurus) dan melindungi rakyatnya. Negara yang dipimpinnya menerapkan hukum Allah dalam segala aspek termasuk periayahan negara kepada rakyatnya. Sesuai sabda Rosulullah,) “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al Bukhari)

Bahkan pemimpin negara wajib pula mengurus nonmuslim yang berada dalam negara. Mengapa? Karena Islam hadir untuk semua manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Allah berfirman,

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS.Al Anbiya: 107)

Sebagai contoh, Islam menerapkan konsep pencegahan dan aspek kuratif agar kerusakan dapat diatasi. Perzinahan dicegah dengan aturan larangan mendekati zina (QS.Al Isra’: 32), berpakaian menutup aurat (QS.Al Ahzab: 59), larangan khalwat (berduaan) dan ikhtilat (campur baur). Bidang ekonomi, baik mikro maupun makro terbebas dari riba (Al Baqarah: 275). Begitu pula dengan sanksi tegas pelaku zina yang akan menimbulkan efek jera bagi pelaku (QS. An Nuur:2), pencuri dihukum potong tangan (QS.Al Maidah: 38) dan segala macam penyebab kerusakan (QS.Al Maidah: 33).

Berbeda dengan demokrasi, hukum hanya memihak kepada kalangan tertentu, yakni kalangan pemodal yang berkolaborasi dengan penguasa. Wajar jika ketidakadilan terjadi di negeri ini. Suara rakyat telah mereka ‘wakili’, kesejahteraan rakyat pun sudah mereka ‘wakili. Rakyat? Hanya bisa gigit jari. Lalu, masihkah bertahan dengan demokrasi?

Eriga Agustiningsasi, S.KM

Artikel Terkait

Back to top button