NUIM HIDAYAT

Iman kepada yang Ghaib

Satu sikap, satu pengalaman, satu ancaman dan satu keyakinan. Satu janji untuk parade yang mulia dan hasil akhir yang dinantikan orang-orang mukmin di akhir putaran pertarungan, seraya terus bersabar menghadapi segala bentuk penindasan, teror dan ancaman…”

Sedangkan Hamka menafsirkan surat al Baqarah ayat 3 ini dengan:

Percaya kepada yang gaib. Yang gaib ialah yang tidak dapat disaksikan oleh pancaindra, tidak tampak oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, yaitu dua indra yang utama dari kelima indra kita. Namun ia dapat dirasa adanya. Maka yang pertama sekali ialah percaya kepada Allah, Zat yang menciptakan sekalian alam, kemudian itu percaya akan adanya Hari Kemudian, yaitu kehidupan kekal yang sudah dibangkitkan dari maut.

Iman yang berarti percaya, yaitu hati yang terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan hidup. Makai man akan yang gaib itulah tanda pertama atau syarat pertama dari takwa tadi.

Kita sudah sama tahu bahwa manusia itu ada dua coraknya. Pertama, orang yang hanya percaya pada benda yang nyata dan tidak mengakui bahwa ada pula di balik kenyataan ini sesuatu yang lain. Mereka tidak percaya ada Allah atau malaikat dan dengan sendirinya mereka tidak percaya akan ada lagi hidup di akhirat itu. Bahkan terhadap adanya nyawa ataupun ruh, mereka tidak percaya. Orang yang seperti ini niscaya tidak akan mengambil petunjuk dari Al-Qur’an. Bagi mereka, koran pembungkus gula sama saja dengan Al-Qur’an.

Kedua, orang-orang yang percaya bahwa di balik benda yang tampak ini ada lagi hal-hal yang gaib. Bertambah banyak pengalaman dalam arena penghidupan, bertambah mendalamlah kepercayaan mereka pada yang gaib itu.

Kita kaum Muslimin yang telah hidup empat belas abad sesudah wafatnya Rasulullah saw dan keturunan-keturunan kita yang akan datang di belakang pun insyaallah bertambah lagi keimanan yang gaib itu karena kita tidak melihat wajah beliau.

Itupun termasuk iman pada yang gaib. Maka tersebutlah sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, ad Darimi, al Baqawardi dan Ibnu Qani di dalam Majmu’ush Shahabah, dan ikut juga merawikan Imam Bukhari dalam Tarikhnya dan ath Thabrani dan al Hakim, meriwayatkan dari Abi Jum’ah al Anshari

“Berkata dia (Abu Jum’ah al Anshari), ”Aku bertanya, ”Ya Rasulullah adakah suatu kaum yang lebih besar pahalanya daripada kamu, padahal kami beriman kepada engkau dan kami mengikut pada engkau.” Berkatalah beliau, ”Apakah ada halangannya bagi kamu (buat beriman kepadaku), sedangkan Rasulullah ada di hadapan kamu dan datang kepada kamu wahyu (langsung) dari langit. Namun akan ada lagi suatu kaum yang akan datang sesudah kamu, datang kepada mereka. Kitab Allah yang ditulis diantara dua Luh maka mereka pun beriman kepadaku dan mereka amalkan apa yang tersebut di dalamnya. Mereka itu lebih besar pahalanya daripada kamu.”


Memang iman kepada gaib memberi kekuatan luar biasa kepada seorang mukmin. Apapun kondisinya mereka yakin bahwa Allah akan menolongnya. Dengan banyak melakukan ibadah kepada Allah, ia yakin Allah akan menurunkan pertolonganNya. Apakah pertolongan dari penguasa yang zalim, pejabat yang korup dan semena-mena atau orang yang membenci kita.

Yang gaib ini memang tidak bisa dilihat mata. Tetapi ia bisa dilihat oleh mata hati. Ia bisa dirasakan keberadanNya. Mata kita seperti kita ketahui terbatas. Dalam kegelapan atau cahaya yang sangat terang, mata kita tidak berfungsi. Maka Nabi Musa pernah minta kepada Allah untuk melihatNya, nabi Musa tidak mampu dan akhirnya pingsan.

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (QS. al A’raf 143)

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button