NUIM HIDAYAT

Imperialisme Bahasa

Alhamdulillah dua anak saya yang perempuan melanjutkan kuliah di ITB dan UI. Anak yang pertama ambil Geodesi, yang kedua ambil Psikologi. Saya ‘biarkan’ anak saya masuk di perguruan tinggi umum, karena saya tahu waktu SMA nya kedua anak itu telah aktif dalam kegiatan masjid.

Alhamdulillah ketika mahasiswa pun demikian. Yang satu ikut mengajar di kegiatan Masjid Salman ITB, yang satu ikut dalam kegiatan Mushola Psikologi UI. Saya bersyukur kepada Allah karenanya.

Yang saya kaget adalah referensi bacaan psikologi di UI. Semuanya bahasa Inggris, kecuali mata kuliah agama Islam. Buku pegangan agama Islam di UI, ditulis oleh tokoh-tokoh liberal. Jadi ada beberapa hal yang menyimpang.

Buku pegangan agama Islam di UI ini mungkin perlu perlu pembahasan panjang tersendiri.

Yang ingin saya bahas adalah referensi psikologi di UI dari Barat semua. Mungkin bagus untuk perkembangan otak anak. Karena Barat terkenal dengan ‘kecerdasannya’. Tapi pertanyaan saya, kenapa harus dari Barat dan berbahasa Inggris semua? Mana karangan dosen-dosen UI yang berbahasa Indonesia.

Bahayanya mengagungkan karya-karya Barat, adalah meremehkan karya bangsa sendiri. Terkena penyakit inferior. Dan bangsa yang seperti ini tidak akan maju dan kreatif.

Ketika menemani Prof Wan Daud ke ITB, Prof Wan merasakan fenomena seperti itu juga ada di Malaysia. Dan akibatnya apa? Bahasa asli penduduk (Melayu/Indonesia) lama kelamaan bisa hilang.

Bangsa Cina maju karena mereka yakin dengan bahasanya. Mereka bangga dengan bahasanya. Buku-buku asing diterjemahkan besar-besaran dalam bahasa Cina. Begitu juga Jepang, bangga dengan bahasanya. Mereka juga menerjemahkan buku-buku asing dalam bahasanya. Begitu juga Jerman, Turki dll.

Jadi harusnya mahasiswa selain disuruh membaca karya-karya dalam bahasa asing, tapi juga diberikan referensi dari dosennya sendiri yang berbahasa Indonesia.

Idealnya malahan mahasiswa-mahasiswa Muslim selain diberikan ilmu psikologi dari Barat juga diberikan ilmu psikologi Islam. Masalahnya kebanyakan dosen yang mengajar psikologi, nggak tahu psikologi Islam.

Sehingga anak-anak Muslim, terpaksa cari sendiri untuk mengetahui psikologi Islam. Prof Malik Badri, ahli psikologi yang beberapa waktu lalu wafat, menganjurkan kaum Muslim tidak meninggalkan psikologi Barat. Dua-duanya dipelajari. Ilmu Psikologi Islam harus dipelajari juga dengan serius, karena Islam adalah dasar kehidupan bagi seorang Muslim. Bagi yang mempelajari psikologi Islam, akan merasakan kehebatan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam menelaah manusia.

Diantara ilmuwan psikologi Islam yang menonjol di UGM dan aktif bergerak mendakwahkannya adalah Dr Bagus Riyono.

Kembali ke masalah bahasa. Bahasa Melayu kini digunakan lebih dari 350 juta penduduk. Suatu jumlah yang sangat besar. Bila di perguruan tinggi -bahkan kini SMP, SMA- mahasiswa-mahasiswa diberi rujukan bahasa Inggris semua, maka suatu saat bahasa Melayu atau Indonesia akan punah. Hal ini dirasakan oleh kawan-kawan kita di Singapura. Kini sekolah-sekolah dan kampus di Singapura, hampir semua bahasa Inggris. Bahasa Melayu hanya diajarkan di sekolah-sekolah Islam. Di Singapura sekolah-sekolah Islam mengajarkan tiga bahasa, Melayu, Inggris dan Arab.

Imperialisme bahasa, kata seorang mahasiswa pasca sarjana suatu ketika mengatakan kepada saya di Masjid UI. Seorang tokoh Hamas Palestina, Dr Nawwaf Takruri, kebetulan saya dan teman-teman pernah bertemu dengannya. Ia mengatakan tidak suka kepada bahasa Inggris, karena Inggris lah yang merekayasa pendirian negara Palestina (di samping tokoh Zionis).

Tentu saja bagi mahasiswa Indonesia, boleh-boleh saja belajar bahasa Inggris. Karena dalam kenyataan ilmu dan teknologi modern ini banyak yang berbahasa Inggris. Tapi jangan lupa bahasa sendiri. Kalau menulis, tulislah dalam bahasa Indonesia, karena bangsamu lebih memerlukanmu daripada orang di luar negeri.

Bersikaplah seperti bangsa Cina, Jepang, Turki dan Jerman, yang yakin dengan bahasanya sendiri sehingga bisa maju. Mereka yang terlalu bangga dengan bahasa asing, lupa kepada bahasa sendiri, akan menjadi bangsa Pak Turut. Bukan menjadi bangsa pemimpin. Wallahu alimun hakim.

Nuim Hidayat, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok.

Artikel Terkait

Back to top button