SUARA PEMBACA

Impor Sampah: Polemik dan Solusinya

“Sampah”, setelah mendengar kata tersebut hal yang terlintas di benak kita adalah kotor, bau, berbahaya dan lain sebagainya. Namun, jika disandingkan dengan sebuah kata impor menjadi frasa “impor sampah”, apa yang ada di benak kita semua? Bagi saya itu sebuah keheranan, benarkah ada aktivitas impor sampah?.

Nyatanya, negara China sudah bertahun-tahun mengimpor sampah dari negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat dan Australia. Namun pada awal tahun 2018 China sudah menghentikan impor sampah plastik sehingga mengakibatkan negara pengekspor sampah kebingungan. Alasannya, China ingin meningkatkan industri dalam negeri (kompas.com).

Sampah menjadi masalah besar bagi sebagian besar negara maju, sehingga mereka mencari jalan untuk menuntaskannya. Alhasil, negara Indonesia menjadi negara sasaran negara maju untuk mengekspor sampah. Pada bulan Juni kemarin di Pelabuhan Tanjung Perak dan Pelabuhan Bongkar Muat Batu Ampar Batam kedatangan puluhan kontainer sampah B3 yang akhirnya menuntut untuk dipulangkan ke negara asalnya (kumparan.com). Meskipun tidak memungkiri bahwa memang Indonesia mengimpor sampah yang dapat didaur ulang berdasar Peraturan Menteri Perdagangan No. 31 tahun 2016, tetapi limbah B3 tersebut tidak terdapat dalam daftar sampah yang diimpor.

Masalah sampah lantas belum mampu diselesaikan dengan impor ke negara lain, malah menimbulkan masalah baru bagi negara importir. Sampah merupakan masalah serius yang dihadapi tidak hanya negara maju namun seluruh dunia. Daur ulang merupakan salah satu langkah pengelolaan sampah yang melahirkan kebijakan impor sampah. Sampah dapat dijadikan bahan pembakaran dalam industri tahu dan tempe rumahan di Sidoarjo. Namun, apakah Indonesia sendiri kekurangan sampah untuk dibakar? Rasanya tidak, karena sekitar 66-67 juta ton sampah dihasilkan Indonesia tiap tahunnya (aa.com). Tentu itu bukan jumlah yang kecil untuk dijadikan bahan bakar industri rumahan.

Bicara tentang marwah sebuah negara, tidak dapat diukur dari kecanggihan teknologi pengolahan sampahnya atau tingginya angka impor sampah. Ini tentang bagaimana visi sebuah negara dalam mengatur rakyat. Jika visi sebuah negara adalah kapitalisme maka rakyatnya akan diarahkan untuk hidup dengan bebas memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya tanpa menimbang efek negatifnya. Seperti di Amerika Serikat, mayoritas penduduknya bergaya hidup rakus dan menghasilkan ratusan juta ton sampah hingga mengambil langkah ekspor sampah ke luar negeri.

Berbeda dengan Negara Islam yang dibangun atas aqidah Islam dimana negara akan menjaga rakyatnya untuk senantiasa taat kepada Allah SWT. Islam melarang perbuatan tabdzir (boros) karena itu adalah perbuatan syaithon sebagaimana dalam Al Qur’an Surat Al Isra’ ayat 27 yang artinya, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithon dan syaithon itu sangat ingkar pada Tuhannya”. Maka pola pikir masyarakat yang dibangun dalam sistem Islam adalah hidup sederhana tanpa meninggalkan persoalan sampah yang menyesakkan.

Kendatipun sampah tetap saja dihasilkan namun dalam volume yang kecil. Ilmuwan muslim juga akan memikirkan teknologi canggih untuk mengelola sampah. Boleh jadi mereka mengambil cara yang dimiliki negara lain seperti Jerman dan Swedia dalam mengolah sampahnya, namun itu sah saja dilakukan asal tidak menyimpang dari akidah Islam. Negara akan berperan penuh dalam pengelolaan sampah dan menciptakan kehidupan yang bersih dan sehat bagi seluruh warga, baik muslim maupun para kafir dzimmy.

Aryana Nurisa
(Alumni Biologi Unair)

Back to top button