NUIM HIDAYAT

In Memoriam Ustadz Abdul Qadir Djaelani

Tamat PGAPN, Abdul Qadir Djaelani melanjutkan sekolahnya ke PGAAN di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Saat itulah ia mulai memasuki organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), dan kemudian diangkat menjadi ketua ranting PII di sekolahnya. Karena GPII dan PII secara ideologis sama dan akrab dengan Masyumi, keikutsertaannya di PII adalah untuk mematangkan ideologi. Setahun kemudian ia dipercaya menjadi Sekretaris PII cabang Kebayoran Baru.

Tahun 1959, Abdul Qadir Djaelani menamatkan sekolahnya di PGAAN. Dua bulan kemudian ia mulai mengajar di Sekolah Rakjat Pejaten II, Pasar Minggu. Sambil mengajar dan berdakwah di masjid dan majelis taklim, ia pun melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Islam Djakarta. Di tengah kesibukan mengajar, berdakwah dan kuliah, ia tetap aktif di PII dan GPII.

Di GPII Abdul Qodir Djaelani dipercaya menjadi Ketua Wilayah Jakarta. Sedangkan di PII ia dipercaya menjadi Sekretaris Wilayah Jakarta. Saat itu, wilayah Jakarta meliputi Tangerang, Jakarta, Bekasi, Karawang, hingga Purwakarta. Di masa itu pula Abdul Qadir Djaelani sering berkunjung ke rumah Prawoto Mangkusasmito.

Partai Masyumi dibubarkan Soekarno pada 17 Agustus 1960. Karena merasa sebagai pewaris Partai Masyumi, bersama organisasi PII dan GPII, Abdul Qadir Djaelani terus berjuang. Pada Hari Raya Idul Fitri tahun 1961, bersama Hardi M. Arifin, Sekretaris PII Jakarta, ia mengeluarkan surat pernyataan menuntut pembubaran PKI di seluruh Indonesia.

Pernyataan tuntutan pembubaran PKI ini sesungguhnya hanya semata-mata mengikuti jejak Panglima Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesei Selatan yang telah menyatakan pembekuan PKI di daerahnya. Namun gara-gara pernyataan itu, Abdul Qadir Djaelani dan Hardi M. Arifin kemudian ditangkap Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya dan 6 bulan meringkuk di rumah tahanan militer RINDAM Condet, Cililitan, Jakarta Timur. Mereka baru bebas pada akhir 1961.

Pengalaman ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan militer tidak membuat Abdul Qadir Djaelani jera. Selepas dari tahanan militer, dalam Muktamar PII Medan tahun 1962 ia justru terpilih menjadi Ketua I Pengurus Besar PII, mendampingi Ahmad Djuwaeni sebagai Ketua Umum PB PII.

Dalam Konferensi Besar PII di Bandung pada akhir tahun 1963, PB PII berikrar untuk menentang Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai tumbang. Sebulan setelah Konferensi Besar PII di Bandung itu, Abdul Qadir Djaelani ditangkap bersama Ahmad Djuwaeni dan Yahya Sutisna (Ketua II PB PII), oleh Badan Pusat Intelijen (BPI).

Pada masa Orde Baru pun Abdul Qadir Djaelani tetap menjadi langganan masuk penjara, karena menentang rezim Orde Baru yang semula didukungnya. Sebab, rezim Orde Baru ternyata juga mengambil sikap represif terhadap ummat Islam. Pasca Peristiwa Tanjung Priok, Abdul Qadir Djaelani dijatuhi hukuman selama 18 tahun dengan tuduhan menentang pemerintah dan menolak Pancasila sebagai azas tunggal.

Namun Abdul Qadir Djaelani kemudian hanya menjalani hukuman selama 9 tahun penjara, setelah dibebaskan pada tahun 1993, ketika kebijakan politik Soeharto mulai mendekat kepada Islam. Secara total Abdul Qadir Djaelani telah dipenjarakan selama 18 tahun baik oleh rezim Orde Lama maupun Orde Baru.

Dalam pandangan Abdul Qadir Djaelani, Prawoto Mangkusasmito adalah pemimpin yang konsisten, teguh pendirian dan senantiasa hidup sederhana. Meski pernah menjadi pejabat negara, menjadi pimpinan dan bahkan Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito tak pernah merasa risih mengerjakan pekerjaan rumah tangga pada saat berada di rumah, seperti menimba air, menyapu, mengepel lantai, dan mencuci baju.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button