SUARA PEMBACA

Independensi Peradilan Indonesia Sedang Diuji

7 Mei adalah salah satu moment penting yang menjadi tonggak sejarah peradilan Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang selama ini melayangkan gugatan atas pencabutan SK BHP-nya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), akan mendapat kepastian dengan dilaksanakannya sidang putusan pada 7 mei 2018.

Kuasa hukum HTI, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. pernah menyebutkan, Kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak tergugat tidak dapat membuktikan bahwa HTI bertentangan dengan Pancasila.

Karena itu, banyak dari kalangan ulama dan umat Islam berpendapat masalah ini merupakan masalah serius bagi kaum Muslim, dan ini menjadi momentum bagi umat untuk bersikap secara jernih dan kritis.

Sebagaimana yang diketahui, krisis sistem hukum dan peradilan Indonesia semakin parah. Disamping penyakit klasik seperti mafia pengadilan, suap-menyuap, ketidakpastian hukum, kini muncul berbagai pertikaian antar institusi hukum. Semua itu mencerminkan kebobrokan sistem hukum dan peradilan kapitalis.

Karena itu, adalah penting bagi siapapun melirik ke jalan Islam untuk menjadi pilihan bagi sistem hukum dan pengadilan yang terbaik. Dalam islam,semua aspek pengaturan masyarakat diatur oleh hukum yang jelas. Dalam Islam, kedaulatan dalam penger-tian sumber hukum tertinggi (source of legislation) adalah hukum syara’. Al Qur’an dan Sunnah menjadi satu-satunya sumber hukum, sehingga standar baik dan buruk dalam Islam adalah halal dan haram. Hal ini membuat sistem hukum Islam menjadi mandiri dari intervensi kepentingan manusia. Hal ini berbeda dengan sistem Kapitalis yang menjadikan manusia atas nama rakyat sebagai sumber hukum tertinggi. Ketika manusia menjadi sang pembuat hukum, pastilah berbagai kepentingan dari manusia tersebut masuk di dalamnya.

Persamaan kedudukan di depan hukum, dijamin di dalam sistem Islam. Rasulullah Saw menegaskan hal ini saat mengatakan, “Seandainya anakku Fatimah mencuri, akan kupotong tangannya. Hadits itu bermula ketika seorang sahabat terdekatnya, meminta Rasulullah untuk tidak menghukum seorang wanita terpandang. Rasulullah marah dan menegaskan bahwa siapapun yang bersalah, meskipun anaknya sendiri akan dia hukum.

Kebijakan ini pun diikuti oleh para khalifah maupun qadhi (hakim) setelah Rosulullah wafat. Khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang menjadi penguasa tertinggi pada saat itu bahkan pernah dikalahkan dalam peradilan Islam. Pasalnya, dia tidak bisa membuktikan tuduhan bahwa baju besinya memang benar telah dicuri oleh seorang warga Yahudi. Pengadilan Tunggal Tidak Berjenjang. Islam tidak mengenal pengadilan bertingkat. Pengadilan dilakukan dengan asumsi harus dilakukan secara terbaik oleh hakim manapun, dengan pembuktian yang menunjang. Hal ini akan menjaga kepastian hukum dan dapat mencegah timbunan perkara akibat peradilan bertingkat seperti dalam sistem kapitalis, termasuk yang ada di Indonesia.

Dan saat ini, independensi peradilan di Indonesia sedang diuji. Apakah peradilan akan berjalan sesuai azasnya, ataukah kepentingan berbagai pihak akan mengarahkan hukum ke arah yang jauh dari maka “adil” itu sendiri. Wallahu a’lam.

Ummu Hanif, Gresik

Back to top button