Indonesia Stands With Uyghur
Uyghur yang malang. Dunia Islam buta dan tuli, hingga lupa memiliki saudara yang menanti bantuan. Namun kemudian publik dibuat terperangah dan akhirnya kembali mengingat Uyghur, setelah beredar laporan the Wall Street Journal (WSJ) yang ditulis Rabu (11/12).
Laporan tersebut memaparkan bahwa China mulai menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam saat isu Uighur mencuat ke publik pada 2018 lalu. (Cnninternasional, 12/12/2019).
Sejak rangkaian tur Xinjiang itu berlangsung, pandangan para pemuka agama Islam tersebut berubah. Seorang tokoh senior yang ikut kunjungan ke Xinjiang mengatakan bahwa kamp-kamp yang ia kunjungi sangat bagus dan nyaman, serta jauh dari kesan penjara. Kata WSJ, hal itu diutarakan dalam catatan perjalanannya yang dirilis dalam salah satu majalah ormas tersebut.
Rasanya sulit dipercaya, kaum muslim yang merupakan satu tubuh, tega menghianati saudaranya demi tur gratis ke Xinjiang, sejumlah donasi dan bantuan finansial lainnya. Tidak hanya itu, China pun memberikan beasiswa bagi para siswa ormas. Bukan tanpa maksud, China ingin memberi warna baru tentang kebijakan negaranya.
Sejumlah ormas dirayu agar tak lagi melontarkan kritik terkait dugaan persekusi yang diterima etnis minoritas Muslim Uyghur di Xinjiang. Selaras dengan hal itu, Beijing memang berdalih kamp-kamp itu merupakan kamp pelatihan untuk memberdayakan etnis Uighur. China bersungguh-sungguh agar berubah pandangan dunia, melalui lisan petinggi ormas Islam.
Upaya ini berhasil, beberapa petinggi ormas, puluhan pemuka agama Islam, wartawan, hingga akademisi Indonesia yang diundang China, akhirnya memberikan tampilan wajah yang berbeda tentang kamp Xinjiang. Muslim Uyghur sendirian, tanpa penolong. Saudara satu tubuh tak mampu lagi merasakan penderitaan yang sama, kebas anggota tubuh mereka. Hingga mati rasa.
Ada apa dengan umat Islam. Apakah sebegitu murahnya harga ukhuwah, sehingga bisa ditebus dengan harta. Lalu di mana letak hati nurani, sehingga akal tidak bisa menyentuhnya? Bukankah sangat gamblang dan terang benderang penderitaan muslim Uyghur yang terpapar kezaliman China terlihat di banyak media.
Kini beberapa ormas yang disebut dalam laporan WSJ mulai ke luar satu demi satu menyampaikan sanggahannya. Dari situ publik yang semakin cerdas akan menilai sendiri, adakah aroma kebusukan yang dibungkus rapi dengan pembenaran. Sehingga fakta penderitaan dalam kamp, dengan ringan digambarkan sebagai pelatihan vokasi demi mencegah radikalisme.
Masih dengan lagu favorit yang didendangkan seluruh pemimpin negara, perang terhadap radikalisme. Sebagai kamuflase bahwasanya yang mereka perangi adalah Islam. Ketakutan yang amat sangat akan bangkitnya kekuatan negara super power yang tegak di atas akidah yang sahih, membuat mereka sepakat mengusung ide deradikalisme.
Ide lentur tak memiliki bentuk, bahkan tanpa makna buruk sedikitpun, akhirnya kini menjadi stigma negatif untuk menyudutkan Islam. Padahal sejatinya ada banyak kepentingan yang ditutupi. Akibat terganjal oleh Islam, kepentingan tersebut mencari jalan untuk eksis hingga dibuatlah ide deradikalisme. Ide baru untuk melucuti ajaran Islam.
Tagar #IndonesiaStandsWithUyghur akhirnya kembali menggema di linimasa Twitter pada Ahad (15/12/2019) lalu. Warganet ramai-ramai menuliskan tagar tersebut dalam cuitannya. Tujuannya tak lain sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap etnis minoritas Uyghur di Xianjiang, China.
Hubungan bilateral serta ketergantungan ekonomi dan investasi Indonesia terhadap China dianggap menjadi salah satu alasan negeri ini tak bisa berbuat banyak untuk menekan soal dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Uyghur. Begitupun dengan perjanjian kemitraan komperhensif strategis bersama China pada 2008 lalu.