SUARA PEMBACA

Rakyat Semakin Sesak, Asap oh Asap!

Bencana kabut asap di Riau pada musim kemarau tahun ini ternyata sudah sangat parah. Asap makin pekat di Ibu Kota Provinsi Riau, Pekanbaru. Jarak pandang pun semakin pendek.

Berdasarkan pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, jarak pandang pukul 07.00 WIB di Pekanbaru hanya 300 meter (kompas.com, 13/9). BMKG juga menginformasikan melalui laman resminya www.bmkg.go.id menempatkan kualitas udaraKota Pekanbaru, Riau dengan katagori berbahaya (cnnindonesia.com, 13/09). Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai Senin, 16 September 2019, pukul 16.00 WIB, titik panas ditemukan di Riau sebanyak 58, Jambi (62), Sumatera Selatan (115), Kalimantan Barat (384), Kalimantan Tengah (513) dan Kalimantan Selatan (178), (tirto.id, 17/09).

Entah kenapa bencana kabut asap yang sudah terjadi tiap tahunnya ini seolah pemerintah tidak memiliki solusi yang konkrit. Rakyat sudah terbebani kesulitan hidup dengan naiknya iuran BPJS, tarif listrik, serta ditambah lagi kabut asap yang membuat masyarakat semakin sesak saja, khususnya masyarakat di Kalimantan dan Sumatera. Sungguh miris!

Akar Masalah: Konsesi Lahan

“99 persen penyebab kebakaran adalah manusia”, Kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo (merdeka.com, 14/9). Jika memang seperti itu harusnya pemerintah pusat dan pemerintah setempat bisa mencegahnya. Bencana kabut asap memang bukan bencana alam seperti gempa atau tsunami yang manusia tidak bisa mencegahnya sama sekali. Kerusakan yang diakibatkan oleh manusia, sudah pasti harus bisa dicegah. Apalagi kejadian seperti ini sudah terjadi berulang kali tiap tahunnya. Jika pemerintah tidak bisa melakukan pencegahan, berarti ada yang salah dengan sistemnya, baik terkait regulasi maupun penegakan hukum yang lemah, akhirnya membuat kerusakan alam berulang kali.

Sebagian musibah yang ditimpakan oleh Allah SWT terhadap manusia adalah akibat perbuatan manusia sendiri, termasuk bencana kabut asap. Musibah tersebut seharusnya menyadarkan manusia akan kesalahan mereka sehingga mereka segera kembali ke jalan yang benar.

“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS ar-Rum [30]: 41).

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati, mengungkapkan akar masalah kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang di Provinsi Riau diakibatkan karena terlalu luasnya izin konsesi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan. Ini terjadi baik di sektor kehutanan maupun perkebunan (alinea.id, 7/9).

Menurut Nur Hidayati, kasus karhutla lebih sering menimpa ekosistem gambut. Sebab, banyak lahan gambut yang ternyata dikonsesikan kepada perusahaan. Karena sifat alami gambut yang basah, ketika dilakukan pembukaan lahan, maka air yang ada di bawah gambut itu akan keluar, sehingga banyak lahan gambut menjadi kering. Sementara perusahaan sendiri telah memiliki konsesi lahan yang luas, hal ini justru membuat alam tidak seimbang, karena ekosistem sudah rusak. Patutlah kabut asap ini menjadi bencana yang sangat berbahaya bagi masyarakat, hewan dan lingkungan.

Padamkan dengan Islam

“Kita berhadapan dengan hutan yang luas, berhadapan dengan lahan gambut yang luas. Sekarang apinya sudah banyak seperti ini, memang tidak mudah mengatasinya,” kata Presiden RI, Joko Widodo di Pangkalan TNI Angkatan Udara Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, pada Selasa (alinea.id, 17/9).

Tentu saja akan sulit, karena bagaimana pun Indonesia adalah negeri yang dikaruniai hutan dan wilayah yang luas. Jika wilayah hutan ini dieksploitasi dan dirusak, maka kerusakannya pun akan berdampak besar. Sistem kapitalisme yang sesungguhnya merusak alam dan ekosistem. Manusia semakin hari semakin tamak dan rakus akan materi. Para perusahaan sedikit sekali peduli dengan resikonya, tetapi peduli sekali seberapa banyak keuntungan yang akan mereka peroleh. Oleh karena itu, perusahaan yang merusak ini berusaha seminimal mungkin mengeluarkan modal untuk mengkonsesi lahan agar bisa mendatangkan keuntungan dari sana.

Kapitalisme telah terbukti merusak alam. Jadi pasti akan sulit mengatasi kejadian yang serupa di kemudian hari jika regulasi atau peraturan masih tetap sama. Oleh karena itu hanya Islam yang memiliki solusi konkrit terkait bencana kabut asap ini.

Islam mengatur tentang kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Hutan dalam hadits ini adalah bagian dari padang rumput. Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal.

Pengelolaan hutan pun tidak diserahkan kepada perusahaan asing, swasta, atau perseorangan. Melainkan harus dikelola secara langsung oleh negara, sehingga negara memiliki tugas untuk menyeimbangkan dan mengatur antara kepentingan ekonomi, rakyat dan kelestarian lingkungan.

Jika saja masih terdapat kebakaran lahan dan hutan, maka negara wajib bertanggung jawab baik di dunia maupun di akhirat. Negara harus memiliki kebijakan dan strategi tertentu dalam mencegah, meminimalisir dan mengatasi kebakaran hutan. Negara juga wajib menyediakan peralatan atau teknologi khusus untuk kebakaran lahan dan hutan serta memiliki ahli, serta mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian hutan dan alam. Wallahu a’lam bishshawaab.

Ariefdhianty Vibie H.
Muslimah Cinta Islam

Artikel Terkait

Back to top button