Indonesia, Sudah Merdeka atau Belum?
Tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka, relevansinya negeri kaya ini harusnya sudah menjadi bangsa yang besar dan berjaya. Namun impian itu tak seindah kenyataan, negeri ini justru dirundung berbagai persoalan dan hidup dibawah tekanan dan jajahan.
Indonesia tak lebih sebagai negara pengekor yang memiliki ketergantungan besar kepada Amerika dan china sebagai komprador. Karena utang pula Indonesia pun tak berdaya. Apatah arti sebuah perayaan seremonial kemerdekaan tiap tahun, jika fakta tak terbantahkan Bangsa ini hanyalah perahu besar yang oleng dalam berlayar.
Sebagaimana diberitakan pada laman VIVA.co.id, sejumlah tokoh Din Syamsudin, Rocky Gerung, Refly Harun, Ichsanudin Noorsy, Abdullah Hehamahua hingga Said Didu berkumpul dan mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Mereka menganggap negara saat ini sudah melenceng jauh dari yang di cita-citakan oleh pendiri bangsa. Lebih lanjut mereka mengatakan koalisi ini adalah gerakan moral seluruh elemen-elemen dan komponen bangsa lintas agama, suku, profesi, kepentingan politik kita bersatu terbentuk atas keresahan bersama terhadap kondisi bangsa terkini (2/8).
Di lain tempat, Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai menanggapi langkah mantan Ketua umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam membentuk koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI), menyatakan bahwa pembentukan KAMI dengan tema yang diusung selamatkan Indonesia memang relevan di tengah ketidakpastian dan ketidakjelasan situasi bangsa seperti ini. Bahkan lebih lanjut, mantan wakil ketua DPR itu lantas mengajak untuk bertanya kepada diri masing-masing apakah makin dekat atau jauh pada cita-cita bangsa (jpnn.com, 2/8/2020)
Terang saja, sejumlah tokoh berkumpul membincangkan permasalahan negeri. Karut marut negeri ini memang patut dicermati dan kemudian dicari solusi. Sebab, telah sekian dasawarsa negeri ini merdeka dengan kekayaan alam yang melimpah namun mengapa seperti anak ayam mati di lumbung padi, belum lagi arah kemana negeri ini melangkah telah melenceng jauh dari tujuan konstitusi yang dicita-citakan. Lantas benarkah Negeri ini telah merdeka?
Indikator sebuah negara merdeka sebenarnya sangat mudah diketahui. Pertama, negara bebas mengelola kekayaan alam yang merupakan milik rakyat dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat, bukan dikuasai oleh individu, swasta apalagi asing. Namun realitas di lapangan negeri ini dalam genggaman neoimperialisme. Karena posisinya di kawasan geopolitik yang strategis, menjadikan negara-negara kapitalis terutama AS ingin menguasainya. Potensi kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk dan pasar yang besar sangat menggiurkan bagi negara-negara kapitalis yang rakus. Akibatnya, Indonesia kini menjadi negara ‘bancakan’ imperialisme negara-negara kapitalisme dunia.
Kedua, negara merdeka indikatornya berdaulat dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi, hukum dan perundang-undangan. Sayangnya fakta tak terbantahkan negeri ini didikte dan dikendalikan oleh asing. Atas nama ‘kerjasama’ pembangunan infrastruktur, baik asing ataupun aseng menjerat negeri ini dengan investasi dan utang. Utang menjadi alat kontrol Barat mengintervensi kebijakan dan mendikte lahirnya UU. Maka tak mengherankan bila kebijakan-kebijakan yang lahir bercorak neoliberal dan tentunya menguntungkan asing dan swasta dan sebaliknya merugikan rakyat banyak.
Tercatat utang Indonesia Per April 2020 lalu, posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp5.172,48 triliun. Utang tidak hanya dijadikan alat untuk memaksakan kebijakan tetapi juga ditengarai utang digunakan alat untuk memaksakan penggunaan bahan dari negara pemberi utang meski di dalam negeri banyak tersedia, juga penggunaan tenaga kerja meski masih banyak rakyat yang tidak memiliki pekerjaan. Situasi ini jelas menunjukkan bahwa negeri ini memang sedang dieksploitasi yang tidak beda dengan penjajahan.
Ketiga, indikator sebuah negeri merdeka juga ketika rakyat negeri terbebas dari berbagai pungutan. Konsekuensi utang ribawi adalah negeri ini harus membayar mahal kepada negeri yang memberi pinjaman. Utang semakin membengkak, akibatnya rakyat kembali menanggung beban berat dengan harus membayar tarif mahal bila ingin menggunakan pelayanan. Contohnya listrik, air bersih, jalan tol dan BBM. Belum lagi pungutan pajak dan cukai yang tidak dibenarkan syariah. Padahal negeri ini kaya akan migas dan tambang, lantas kemana larinya kalau hanya dikuasai oleh segelintir orang bahakan dikuasai asing.
Keempat, indikator negeri ini terjajah adalah adanya penguasaan sektor-sektor vital negara seperti tanah dan air. Sektor perkebunan, data yang dilansir oleh Sawit Watch menyebutkan sekitar 50 persen dari luas areal perkebunan sawit Indonesia 7,8 juta hektar berada di tangan asing.
Lebih dari itu, asing juga telah menguasai 16 pulau Indonesia. Hal ini dinyatakan oleh Pusat Data dan Informasi Koalisi rakyat untuk keadilan perikanan (Kiara) bahwa sebanyak 16 pulau yang dikuasai asing dan tidak bisa diakses tanpa izin di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat.
Kelima, sebuah negeri merdeka dia berdaulat atas dirinya. Ironisnya, dengan keadaan lautan yang luas negeri ini masih menggantungkan impor garam dari Australia. Dengan daratan yang terbentang luas dan subur, kebutuhan beras pun masih juga bergantung pada impor. Tidak terbantahkan juga dalam menyelesaikan berbagai konflik sosial yang terjadi, kasus keluarga, pendidikan, kesehatan, kewarganegaraan, separatisme, disintegrasi, penistaan agama, dan berbagai kasus lainnya negeri ini pun berdiri tegak disetir oleh Barat. Dengan demikian, dapat disimpulkan negeri ini jelas dalam ancaman neoimperialisme dan neoliberalisme yang menyesatkan.
Agaknya di tengah deretan kondisi tersebut, negeri ini harus mengingat kembali tujuan kontsitusi yang dicita-citakan. Sebab merdeka bukan semata-mata terlepas dari penjajahan fisik, namun pembangunan yang adil, rakyat berkecukupan ekonomi, terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara, jauh dari hegemoni asing, serta keberkahan dari Tuhan.
Untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki, semua pihak harus berpikir keras untuk mengakhiri eksploitasi dan penjajahan gaya baru atas negeri ini dan berusaha membenahi. Tidak mungkin, perubahan hanya sekedar berganti orang namun juga dibutuhkan perubahan sistem yang mendasar sebagai alternatif perubahan yang hakiki. Sebab neoimperialisme ini berlangsung melalui sistem yang diterapkan. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem yang didesain untuk melanggengkan eksploitasi maka neoimperialisme tidak akan bisa dihentikan.
Sebagai orang yang beriman tentu meyakini bahwa kemerdekaan hakiki saat terbebas dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi dan penghambaan kepada sesama manusia. Semuanya itu hanya bisa terwujud jika negeri ini mencampakkan ideologi kapitalisme penyebab keterpurukan selama ini dan totalitas memberikan penghambaan kepada TuhanNya. Wallahu’alam
Ummu Nafra
(Pengusaha dan Pegiat Literasi)