Inilah Musibah Besar Umat Islam
Ada tiga ayat yang menegaskan tujuan konkrit diutus-Nya Rasulullah Saw itu (yang tentu saja sekaligus menjadi misi dan orientasi dakwah kita sepanjang zaman): Attaubah (9) : 33, Alfath (48): 28 dan As Shaf (61): 9.
Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan dien (sistem tatanan kehidupan) yang haq (yakni Islam), agar dimenangkan-Nya (Islam itu) di atas segala sistem tatanan kehidupan yang ada, sekalipun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya (membencinya.) (QS 9:33; 61:9)
(Pada QS 48:28, anak kalimat wa lau karihal musyrikun (walau pun orang-orang musyrik membencinya) yang ada pada QS 9 : 33 dan 61 : 9 diganti dengan wa kafa billahi syahida (cukuplah Allah menjadi saksi atas kemenangan itu)
Misi memenangkan Islam, menzahirkan (mengeksiskan) Islam di atas semua sistem yang ada, memberi pengertian yang jelas bahwa sesungguhnya Rasulullah diterjunkan ke arena untuk bertarung. Sebab, tidak ada kemenangan tanpa ada pertarungan; dan berdakwah pada hakekatnya adalah bertarung. Dengan demikian, dunia ini sejatinya adalah sebuah arena kompetisi atau pentas pertarungan dua sistem tatanan kehidupan, atau sebutlah ideologi: Islam dan bukan Islam. Dalam hal ini, Islam wajib menang.
Anak kalimat “sekalipun orang-orang musyrik membencinya” atau “dan cukuplah Allah menjadi saksi (atas kemenangan itu)” pada ayat-ayat tadi, mempertegas, adanya pertarungan itu. Mempertegas adanya upaya-upaya serius untuk melemahkan atau bahkan menghentikan gerakan dakwah.
Pengulangan ayat-ayat yang senada seperti di atas, tentulah dapat dimaknai bahwa Allah bermaksud memberikan tekanan kuat akan pesan yang terkandung di dalamnya agar ummat Islam sadar, tidak lengah atau bahkan melupakannya barang sekejap. Artinya, begitu penting pesan –bertarung untuk mememenangkan sistem Islam, yang terkadung dalam ayat tersebut sehingga Allah mengulang-ulangnya agar umat Islam jangan sampai lupa.
Tetapi, inilah musibah besar yang melanda ummat Islam kini. Kebanyakan mereka memang lupa, bahkan tidak sadar dan tidak merasa bahwa mereka sesungguhnya sedang bertarung.
Bagaimana mungkin dapat tampil sebagai pemenang, kalau merasa bertarung saja pun tidak?! Tentulah mereka tidak menyiapkan diri secara mental dan fisik untuk betartarung. Tidak siap menyuarakan hal-hal fundamental tentang keislaman karena khawatir akan menyinggung atau menarik perhatian negatif penganut ideologi lain. Takut kalau-kalau kaum musyrik, kafir atau munafik akan marah dan membenci. Mereka ingin tampil sebagai orang “baik” di mata semua orang termasuk di mata penyeru kebathilan. Mereka (karena tidak sadar sedang bertarung) tidak sadar pula kalau sesungguhnya mereka punya lawan dan oleh karenanya sering-sering lawan dijadikan kawan dan kawan dijadikan lawan. Sebaliknya, kalau mendapat serangan pukulan dari penganut ideologi lain, mereka hanya bisa mengeluh dan merasa dizalimi dan diperlakukan secara tidak adil. Padahal dalam satu pertarungan, tinju misalnya, lawan memang menginginkan mereka KO.
Maka, saksikanlah bagaimana nasib mereka di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini: tidak berdaya di semua aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM. Meski mayoritas, bobot mereka tak ubahnya buih, tidak berdaya menghadapi gerakan antidakwah. Tidak punya mental petarung, cukup puas dengan hanya diberi gula-gula. Mungkin gula-gula itu berupa pakaian muslim yang dikenakan pejabat (terutama di masa kampanye) atau dikirimi hewan kurban, atau juga shalat berjemaah yang diekspose secara luas.
Sebagai sebuah sistem kehidupan, Islam meliputi semua aspek kehidupan. Dalam Konteks Indonesia, bisalah kita menyebutnya IPOLEKSOSBUDHANKAM. Maka pertarungan yang dimaksud antara Dakwah Islamiyah versus antidakwah, setidaknya, adalah meliputi semua aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM itu. Pada aspek-aspek itu pulalah keberhasilan/kegagalan dakwah dinilai: sejauh mana dakwah Islamiyah mewarnai aspek-aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM.
Tentu Aku tidak bermaksud melakukan evaluasi dakwah Islamiyah secara lebih detail dalam tulisan ini. Biarlah hal itu dilakukan oleh pemikir Islam lainnya. Yang pasti, dakwah Islamiyah saat ini memang sedang menghadapi tantangan yang nyata besar dan berat. Persoalan besar dan mendasar internal umat Islam adalah: mereka tidak merasa sedang bertarung. Mereka mencukupkan diri dengan apa yang yang bisa dicapai, meski pun itu sebatas gula-gula. Ya, bagaimana mungkin seorang Guru Besar Perguruan Tinggi Islam merasa puas mendapat gula-gula di tengah tumpukan besar harta benda berharga? Inilah musibah besar umat Islam.
Wallahu a’lam bisshawab.
Dr. Masri Sitanggang
Aktivis Gerakan dan Dakwah Islam Sumatera Utara