NASIONAL

IPAC: Indonesia ‘Bungkam’ Soal Uighur karena Investasi China

Jakarta (SI Online) – Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyatakan sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang hingga kini masih ‘bungkam’ atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas Uighur di Xinjiang berkaitan dengan urusan ekonomi. Menurut analisis mereka, salah satu faktor utama adalah dugaan ketergantungan Indonesia terhadap modal dari China yang cukup besar.

Dalam laporan terbarunya yang berjudul Explaining Indonesia’s Silence on the Uyghur Issue, IPAC menuturkan “China adalah mitra dagang terbesar dan juga investor kedua terbesar” Indonesia.

Hal itu disebut menambah keengganan Indonesia bersilang pendapat China dengan dalam permasalahan Uighur.

“Fakta bahwa China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan juga investor kedua terbesar kita menambah keengganan (Indonesia) untuk mengangkat (isu Uighur),” bunyi laporan terbaru IPAC yang dirilis pada Kamis (20/6) kemarin.

Lembaga think tank itu menganggap Indonesia melihat masih banyak hal prioritas dan strategis lain yang terkait hubungan mereka dengan China, ketimbang mempermasalahkan hak asasi manusia. Beberapa isu strategis yang menjadi fokus Indonesia-China selama ini yakni seperti sengketa Laut China Selatan dan proyek Sabuk dan Jalan Ekonomi (Belt and Road Initiative).

Selain itu, menurut analisis IPAC sejak awal Indonesia juga melihat isu Uighur sebagai isu politik domestik China terkait separatisme, dan tidak dilihat sebagai pelanggaran HAM.

Dalam laporannya, IPAC membandingkan cara Indonesia merespons isu Uighur dengan krisis kemanusiaan yang menargetkan suku minoritas Rohingya di Rakhine, Myanmar.

Berbeda dengan isu Uighur, IPAC menganggap Jokowi lebih “leluasa bergerak” dalam merespons krisis Rohingya karena isu tersebut berkaitan dengan Myanmar, sesama anggota ASEAN yang pengaruhnya tidak lebih besar dari Indonesia.

“Krisis yang terjadi dengan Myanmar-sesama negara ASEAN yang lebih kecil dan secara regional kurang berpengaruh dibandingkan Indonesia. Itu memberikan langkah konkret bagi Indonesia untuk membantu, tetapi tidak dengan Uighur,” demikian hasil analisis IPAC.

Selain soal hubungan luar negeri, IPAC menuturkan politik domestik juga sedikit banyak mempengaruhi keengganan Jokowi untuk bersikap vokal terhadap isu Uighur. Laporan itu menyatakan isu Uighur diduga telah dipolitisasi oposisi Jokowi, terutama kubu pendukung Prabowo Subianto, yang merupakan rivalnya dalam pemilu April lalu.

“Mengambil langkah vokal dalam isu ini hanya akan membuat (Jokowi) terlihat menyerah terhadap kelompok Islam sayap kanan (yang mendukung Prabowo),” demikian kesimpulan IPAC.

Selama ini hanya Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menyatakan menentang pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur. Namun, dia juga tidak bisa bergerak terlampau jauh karena menganggap hal itu adalah masalah dalam negeri China.

“Ya pasti kita semua menolak segala penindasan kepada human rights. Kalau masalah domestik tentu kita tidak ingin campuri masalah itu,” ujar JK di Hotel Fairmont, Jakarta, 17 Desember 2018.

Dugaan penindasan terhadap suku Uighur di Xinjiang diangkat setelah laporan kelompok pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM), Amnesty International, pada September 2018 melaporkan pemerintah China menahan sekitar 1 juta orang etnis minoritas tersebut di penampungan layaknya kamp konsentrasi.

Di sana, para tahanan dilaporkan didoktrin supaya mengamalkan ideologi komunis dan menanggalkan identitas kesukuan mereka. Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Xinjiang, aparat China melakukan penahanan secara sewenang-wenang sejak 2014 silam.

Tak hanya itu, otoritas China juga disebut mengekang hak-hak masyarakat Xinjiang termasuk etnis Uighur untuk beribadah. Pemerintah disebut memberlakukan kebijakan khusus yang cukup ketat bagi masyarakat Xinjiang.

Otoritas lokal bahkan disebut melarang masyarakat Xinjiang melakukan aktivitas keagamaan bersama di ruang publik, termasuk sekolah.

sumber: CNNIndonesia.com

Artikel Terkait

Back to top button