INTERNASIONAL

Irak akan Gelar Pemilu Legislatif

Baghdad (SI Online) – Negeri 1001 malam Irak bakal menggelar pemilihan anggota parlemen (Pemilu Legislatif) pada Ahad, 10 Oktober mendatang. Mestinya Pemilu baru akan digelar tahun depan, namun dimajukan karena adanya protes berdarah-darah pada 2019, demikian Aljazeera memberitakan, Selasa (5/10).

Pemilu berlangsung di tengah mencuatnya skeptisme masyarakat, menguatnya seruan boikot, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang ada, dan ekonomi yang lumpuh yang diperparah oleh pandemi COVID-19.

Dengan undang-undang pemilu yang baru diperkenalkan, yang pada dasarnya akan mengalihkan fokus kandidat ke distrik-distrik yang lebih kecil, harapannya adalah mendapatkan lebih banyak suara dari orang-orang yang sebelumnya apatis.

Meski begitu pemilu ini diikuti oleh banyak kandidat. Juli lalu, data resmi dari Komisi Pemilihan Irak menunjukkan bahwa 3.249 kandidat yang mewakili 21 koalisi dan 109 partai serta kandidat independen, akan bersaing memperebutkan 329 kursi di parlemen.

Di antara kandidat yang mencalonkan diri adalah pemimpin salah satu milisi garis keras yang kuat di Irak, yang memiliki hubungan dekat dengan Iran dan pernah memerangi pasukan Amerika Serikat (AS), seperti laporan Associated Press, Rabu (6/10/2021).

Hussein Muanis berada dalam daftar panjang kandidat faksi Syiah dukungan Iran yang bersaing untuk kursi parlemen. Namun Muanis adalah orang pertama yang secara terbuka menyatakan berafiliasi dengan Kataib Hezbollah, atau Brigade Hizbullah, menandakan masuknya kelompok militan ke dalam ajang politik.

Kelompok ini ada dalam daftar organisasi teroris AS dan dituduh oleh pejabat AS menargetkan pasukan Amerika di Irak. Muanis sendiri dipenjara oleh AS selama empat tahun dari 2008 hingga 2012 karena memerangi pasukan AS.

“Masuknya kami ke politik adalah kewajiban agama. Saya memerangi penjajah secara militer dan sekarang saya akan memerangi mereka secara politik,” katanya, berbicara kepada The Associated Press baru-baru ini di kantornya di pusat Baghdad.

Sementara undang-undang pemilihan baru memungkinkan lebih banyak orang independen untuk mencalonkan diri, kelompok-kelompok Syiah terus mendominasi lanskap pemilihan dengan persaingan ketat yang diperkirakan terjadi antara partai-partai pro-Iran dan milisi mereka. Partai terbesar adalah aliansi Fatah, berkompetisi dengan blok politik nasionalis Syiah kelas berat Moqtada al-Sadr, pemenang terbesar dalam pemilu 2018.

Dalam pada itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berharap pemilu Irak dapat berlangsung bebas dan transparan. Misi Bantuan PBB untuk Irak (UNAMI) berjanji akan bersikap netral dalam pemilu Irak dan memperlakukan semua pihak di negara tersebut secara setara.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button