Iran Berencana Tinggalkan GPS, Bukan Sekadar Masalah Teknologi
Ini adalah pertanda lain dari “perang dingin teknologi” yang mulai mengemuka.

Para pakar keamanan siber memang sejak lama skeptis terhadap keamanan aplikasi ini. Baru-baru ini, media melaporkan bahwa perangkat lunak kecerdasan buatan yang digunakan Israel untuk menargetkan warga Palestina di Gaza diduga mendapat suplai data dari media sosial. Selain itu, tak lama setelah serangan terhadap Iran usai, DPR AS juga mengusulkan pelarangan penggunaan WhatsApp pada perangkat resmi pemerintah.
Bagi Iran dan negara-negara lain di dunia, pesan yang muncul sangat gamblang: platform-platform Barat tak bisa lagi dianggap sekadar sarana komunikasi biasa; mereka kini dipandang sebagai bagian dari perang intelijen digital global.
Iran sendiri telah mengembangkan sistem intranet nasional bernama National Information Network yang memberikan otoritas lebih besar kepada negara dalam mengendalikan akses internet. Ke depannya, Iran kemungkinan akan memperluas sistem ini, bahkan berupaya meniru Great Firewall milik China.
Dengan upaya memutus ketergantungan pada infrastruktur yang didominasi Barat, Iran dengan jelas menyelaraskan diri dengan poros pengaruh baru yang menantang dominasi Barat secara mendasar. Kemitraan ini melampaui sekadar hubungan transaksional karena China menawarkan alat-alat yang penting untuk kemandirian digital dan strategis sejati.
Konteks yang lebih luas dari langkah ini adalah Belt and Road Initiative (BRI) China yang ambisius. Meskipun sering disebut sebagai proyek infrastruktur dan perdagangan, BRI sejak awal selalu mencakup lebih dari sekadar jalan dan pelabuhan. Ini adalah cetak biru besar untuk membentuk tatanan global alternatif. Iran — dengan posisi strategis dan perannya sebagai pemasok energi utama — semakin menjadi mitra penting dalam visi besar ini.
Apa yang kita saksikan sekarang adalah kemunculan blok teknologi baru yang kuat — blok yang menyatukan infrastruktur digital dengan semangat pembangkangan politik terhadap Barat. Negara-negara yang lelah dengan standar ganda, sanksi sepihak, dan hegemoni digital Barat, akan semakin menemukan kenyamanan dan kekuatan dalam pengaruh Tiongkok yang terus meluas.
Perubahan yang berlangsung cepat ini menandai datangnya era baru dari “perang dingin teknologi” — konfrontasi bersuhu rendah di mana negara-negara akan memilih infrastruktur kritis mereka, mulai dari navigasi, komunikasi, aliran data hingga sistem pembayaran, bukan lagi berdasarkan keunggulan teknologi atau cakupan global, tetapi berdasarkan kesetiaan politik dan persepsi keamanan.
Ketika semakin banyak negara mengikuti jejak ini, keunggulan teknologi Barat akan mulai menyusut secara nyata, dan tatanan kekuatan internasional pun akan ikut berubah. []
Nuim Hidayat
Sumber: AL JAZEERA