OPINI

Sulaimani dan Politik AS di Timur Tengah

Mayor Jenderal Qasim Sulaimani, komandan pasukan al Quds, pasukan elit dalam brigadir Revolusi Iran, dikabarkan meninggal oleh serangan drone nir awak AS di Irak (Kamis, 3/1/2020). Kejadian tersebut sontak memanaskan hubungan antara AS dengan Iran.

Upacara pemakaman Qasim yang megah, bendera merah yang dinaikkan setiang penuh dan pernyataan Ayatullah Ali Khomenei yang menyebutkan bahwa Iran akan melakukan pembalasan dendam kepada AS. Euforia demikian mengkhawatirkan dunia. Nato dan Suriah meminta kedua belah pihak bisa menahan diri. Seolah – olah akan meletus perang terbuka antara AS dan Iran.

Sesungguhnya politik AS di Timur Tengah menggunakan 2 strategi pendekatan. Strategi pendekatan AS dilakukan berdasarkan keadaan obyektif negeri – negeri Islam di Timur Tengah.

Pertama, kepada negeri – negeri Islam yang mayoritasnya Sunni. Strategi pendekatannya adalah embargo dan invasi militer. Pada tahun 1990 saat Irak menginvasi Kuwait, AS mendesak agar PBB memberikan sangsi kepada Irak. AS berambisi untuk mengamankan cadangan minyak di Kuwait sebesar 6,08 % minyak dunia. Bahkan cadangan minyak di Kuwait diprediksi baru habis dalam jangka waktu 109 tahun. 13 resolusi PBB dikeluarkan, di antaranya resolusi 661 dan 687 yang mengembargo ekonomi dan perdagangan total terhadap Irak. Dampaknya terdapat kematian sekitar 500 ribu anak karena malnutrisi dan stunting.

Sedangkan di tahun 2003, AS mengumumkan akan melakukan operasi militer pembebasan Irak. Serangan besar – besaran dilancarkan guna menjungkalkan rejim Ba’ats dan membebaskan rakyat Irak dari penderitaan hidup di bawah rejim Ba’ats. Ini merupakan alibi AS untuk menyerang dan mengendalikan konstelasi politik pemerintahan di Irak.

Begitu pula invasi militer AS di Afghanistan di tahun 2001. Tragedi WTC dan Pentagon 11 september 2001 menjadi alibi AS untuk menginvasi Afghanistan. Taliban dan Al Qaeda dituding sebagai biang keladi aksi terorisme internasional. AS menghabiskan dana sekitar 750 milyar dolar untuk biaya perang dan merekonstruksi Afghanistan. Dengan demikian AS bisa mengendalikan dalam negeri Afghanistan seraya menggeser peran Rusia di sana.

Kedua, kepada negeri yang mayoritasnya syiah. Ambil contoh kepada Iran. Bagi AS, Iran itu sebagai buffer kepentingannya di Timur Tengah. Sedangkan Israel sebagai instabilisator Timur Tengah. AS berkepentingan untuk menghadang bangkitnya KeKhilafahan Islam. AS paham betul bahwa konsep keKhilafahan Islam yang diusung kaum Sunni berseberangan dengan konsep wilayatul faqihnya Syiah. Apalagi kalangan yang memperjuangkan Khilafah tidak terikat dengan satu pun negara -negara Arab. Tentunya AS harus melakukan hubungan politik dengan kolega dan antek – anteknya guna membendungnya. Maka dapat dipahami bila strategi pendekatan AS kepada negerinya kaum Sunni begitu keras.

Hubungan AS dengan Iran tergolong nasdem, panas adem. Kadangkala panas, kadangkala adem. Dengan kata lain, hubungan AS dan Iran bersifat pragmatis.

Qasim Sulaimani memainkan peran penting dalam hubungan AS dengan Iran. Saat invasi militer AS ke Afghanistan 2001, Qasim Sulaimani yang menghubungi perwira – perwira militer AS untuk memberitahukan kantong – kantong Taliban.

Pada serangan AS ke Suriah, Qasim Sulaimani mau membantu untuk memerangi ISIS dan al Qaeda asalkan bukan untuk menyerang Basyar Assad. Qasim Sulaimani membantu AS dan hasilnya banyak berjatuhan korban dari kaum muslimin Suriah.

Sempat pula terjadi ketegangan antara AS denngan Iran. Misalnya pada tanggal 3 Juli 1988. Pesawat penumpang Iran Air ditembak jatuh oleh kapal perang AS Vincennes. Jumlah korban yang terhitung ada sebanyak 290 orang.

Tekanan AS terhadap Iran juga berkaitan dengan perjanjian non poliferasi nuklir di tahun 2002. AS dan Uni Eropa memberikan sangsi kepada Iran yang menyebabkan hilangnya 2/3 nilai mata uangnya. Tidak ada sangsi yang demikian keras kepada Iran sebagaimana kepada Irak dan Afghanistan. Tidak ada embargo ekonomi kepada Iran.

Bahkan yang terakhir hubungan AS dan Iran bertambah panas di Irak. Qasim Sulaimani disinyalir terlibat dalam penyerangan pangkalan militer AS di Kirkuk pada 27 Desember 2019. Sebagai balasannya, AS menyerang pangkalan milisi Hizbullah di Irak dan Suriah yang menewaskan 25 orang dan 51 orang luka – luka.

Dua hari kemudian, pasukan militan Syiah menyerbu Kedutaan Besar AS di Baghdad, Irak. Di dinding bangunan kedutaan AS yang hancur tertulis “Komandan Kami, Sulaimani”.

AS menjawab serbuan militan Syiah tersebut dengan melancarkan serangan Drone yang menewaskan Qasim Sulaimani di Kamis 2 Januari 2020. Dalam hal ini, AS memandang bahwa Iran mencoba untuk mengambil kendali di Irak. Oleh karena itu, AS harus melakukan tindakan guna tetap memastikan Irak berada di dalam kendalinya. Sedangkan DPR Irak sendiri mengajukan protes ke PBB terkait keberadaan Irak dijadikan ajang berebut pengaruh di antara AS dan Iran yang notabenenya adalah kolega.

Iran tidak akan menantang AS untuk melakukan perang militer terbuka. Bagaimanapun juga, Iran membutuhkan dukungan dan bantuan AS untuk keberadaan pengaruh Syiahnya di Timur Tengah.

Iran tidak ingin sendirian di Timur Tengah tanpa dukungan AS. Iran akan terisolir. Indonesia sendiri dalam menyikapi krisis AS Iran ini lebih memilih menahan diri. Mengingat sentimen anti Syiah di Indonesia sangatlah kuat.

Memang umat Islam mempunyai trauma terhadap keberadaan kaum Syiah. Dalam sejarah, Kaum Syiah tega mengorbankan umat Islam dengan bekerjasama dengan negara – negara imperialis. Yang penting posisinya aman. Tujuan utamanya mengambil kekuasaan Islam yang dirampas kaum Sunni.

Keruntuhan Khilafah Abbasyiah di tahun 1258 M, tidak semata – mata karena serangan Tar Tar. Seorang menteri Kholifah dari kalangan Syiah Rafidhoh, Ibnu Al qami berkhianat dengan memberitahukan kelemahan Khilafah Abbasiyah kepada Hulaghu Khan, pemimpin Tar Tar. Setelah keruntuhan Khilafah Abbasyiyah yang sunni, kepemimpinan bisa dipegang oleh Khilafah Bani Fatimiyah yang Syiah.

Begitu pula persekongkolan jahat Syiah dengan Perancis di Suriah. Sulaiman Asad, kakek dari Hafed Asad meminta perlindungan akan eksistensinya di Timur Tengah kepada Perancis. Hal ini terungkap dari dokumen perancis dengan surat bernomor 3547 pada tahun 1936.

Jadi kematian Qasim Sulaimani merupakan tumbal politik dari hubungan AS dengan Iran. Sebagaimana keberadaan Qadafi dan Saddam Husain hanyalah pion politik belaka.

Keadaan persaudaraan mereka merupakan persaudaraan antar kolega yang lebih mementingkan kepentingannya masing – masing. Harapan dan kebanggaan mereka adalah kesengsaraan kaum muslimin. Lebih – lebih mereka berkolaborasi untuk mencapai target utamanya yakni menghalangi kebangkitan dunia Islam dengan kembalinya lagi kekhilafahan. AS termasuk China sangatlah paham akan sepak terjang kekhilafahan dalam menghadang nafsu imperialisme mereka.

Ainul Mizan
Penulis tinggal di Malang

Artikel Terkait

Back to top button