SUARA PEMBACA

Ironi, 27 Juta ‘Perut Lapar’ Menyambut Kemerdekaan

Usia kemerdekaan RI genap 76 tahun pada 17 Agustus 2021. Fisik boleh merdeka, tetapi nyatanya segudang problematika masih membelenggu Indonesia. Ironisnya, di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, anak ayam justru mati di lumbung padi. Ya, kemiskinan menjadi persoalan yang tak berkesudahan di negeri ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 27,54 juta orang miskin di Tanah Air per Maret 2021. Jumlah ini setara dengan 10,14 persen dari total penduduk Indonesia. (CNNIndonesia.com, 13/8/2021). Jumlah ini pun terancam naik, jika pandemi tak kunjung berakhir.

Tak dapat dielakkan, pandemi ikut andil menaikkan angka kemiskinan. Pembatasan mobilitas dan kegiatan ekonomi masyarakat berimbas pada derasnya gelombang PHK. Buntutnya, masyarakat yang sebelumnya masuk kelompok rentan miskin pun beralih menjadi miskin. Tidak sedikit pula pengusaha yang bangkrut dan mendadak jatuh miskin.

Di satu sisi, pandemi makin menampakkan borok penguasa yang makin gagal mengurus negara. Penyaluran dana bantuan sosial untuk rakyat masih banyak kekurangan di sana-sini; mulai dari lambatnya pemutakhiran data, penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran, hingga pusaran korupsi dana bansos yang fantastis. Alhasil, bansos pun kurang taji dalam menuntaskan kemiskinan. Sebaliknya, dana bansos menjadi lahan menggiurkan bagi tuan pejabat yang tak amanah.

Ya, pandemi Covid-19 mungkin dapat menjadi tameng tuan penguasa atas lonjakan jumlah rakyat miskin. Namun sejatinya, kemiskinan bukanlah problematika baru di negeri ini. Sebab kemiskinan sudah menjadi lagu sedih yang terus berulang di Tanah Air. Kini, lagu sedih ini makin nyaring bunyinya, bahkan saat nyanyian lagu kebangsaan menyambut hari kemerdekaan mulai terdengar keras.

Sebelum pandemi, angka kemiskinan sudah tinggi. Kini, saat pandemi, angka kemiskinan makin tinggi. Ironisnya, berbagai solusi tambal sulam ala kapitalisme, gagal menuntaskan kemiskinan. Kapitalisme bahkan makin nyata memandulkan peran tuan penguasa.

Tuan penguasa bukan lagi berperan sebagai pelayan bagi rakyat, melainkan pelayan bagi para kapitalis. Mereka menjadikan negara sebagai fasilitator dan regulator untuk melayani kepentingan para kapitalis. Tidak heran, jika berbagai produk hukum dan kebijakan disahkan demi melayani kepentingan para pemilik modal. Sebaliknya, berbagai produk hukum dan kebijakan tersebut makin menyengsarakan kehidupan rakyat.

Kapitalisme juga menciptakan distribusi kekayaan yang tidak merata. Kekayaan alam dan isinya, yang termasuk kepemilikan umum, justru dikuasai, dikelola, dan dinikmati oleh para kapitalis. Mirisnya, semua itu dilegalkan oleh undang-undang buatan tuan penguasa. Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja adalah gambaran nyata memiskinkan rakyat, dan menjadi jongos di negeri sendiri.

Alhasil, lepas dari kemiskinan membutuhkan solusi sistemik nan solutif, yang mampu mencabut akar masalah kemiskinan. Sebab rakyat sudah lelah, katanya merdeka, nyatanya perut lapar masih menjadi persoalan. Inikah kemerdekaan hakiki yang dicita-citakan?

Merdeka berarti bebas dari segala penjajahan dan penghambaan; tidak terikat dan tidak bergantung kepada orang dan pihak tertentu. (Lihat KBBI V). Menilik arti merdeka ini, sudahkah negeri ini benar-benar merdeka? Jikalau di tanah yang gemah ripah loh jinawi, rakyat justru masih kesusahan mencari sesuap nasi?

Menurut paradigma Islam, kemerdekaan hakiki akan terwujud saat manusia bebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan sesama manusia. Ini berarti, Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman, perbudakan, penghambaan, dan pemikiran rusak yang mengatur manusia.

Wujud penghambaan semata-mata hanya ditujukan kepada Allah SWT saja, yakni tunduk dan taat dalam menerapkan syariah-Nya secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari urusan individu hingga urusan negara.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button