SUARA PEMBACA

Ironi Negeri Penghasil Sawit: Habis Langka Terbitlah Mahal

Bak judul film “alangkah lucunya negeri ini”. Drama minyak goreng belum berakhir, kisahnya menjadi kenangan pilu sebab terlanjur menggores luka di hati rakyat. Nasib rakyat jelata harus mengiba, kepada penguasa yang minim rasa iba. Raja sawit yang sakit, ungkapan yang cocok untuk negeri yang menjadi salah satu produsen sawit terbesar di dunia, namun rakyatnya harus berjubel mengantre demi sebungkus minyak goreng.

HET Minyak Goreng Dicabut, Rakyat Menjerit

Gonjang-ganjing minyak goreng pada akhirnya membuat pemerintah mulai gerah sampai mengibarkan bendera putih. Kredibilitas nya mulai dipertanyakan, karena langkah yang diadang jadi senjata pamungkas ternyata hanya pisau tumpul tak berbekas. Tak mampu merubah situasi kelangkaan minyak goreng di pasaran dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET), akhirnya Kemendag sebagai sang panglima ekonomi memutuskan untuk melepas harga minyak goreng ke mekanisme pasar.

Rakyat pun berkabung, pasalnya harganya melambung tinggi nyaris dua kali lipat (Republika,16/3/2022). Di sejumlah ritel menurut beberapa penelusuran, harga minyak goreng kemasan per dua liter harganya pun beragam tergantung merknya, mulai dari Rp 40.000 hingga tembus hampir Rp50.000 (Tribunnews, 17/3/2022). Anehnya, setelah HET ini dicabut, stok minyak goreng langsung membanjiri pasar konsumen, baik di pasar swalayan maupun pasar tradisional di seluruh daerah.

Rakyat dilema, mengingat kelangkaan yang terjadi pada saat ditetapkan HET Rp14.000 per liter, kali ini rakyat kembali memutar otak dengan ledakan harga minyak goreng yang gila-gilaan. Terlebih, para pedagang kecil yang menjual makanan dengan bahan pendukung utamanya adalah minyak goreng, harus merasakan imbasnya. Beberapa kasus pedagang UMKM seperti pedagang gorengan memutuskan untuk mengganti jenis dagangannya, sebab harga jualnya sudah tak mampu lagi menutup harga pokok produksi. Selain itu, ibu rumah tangga juga cukup dipusingkan dengan kenaikan tersebut, mengingat minyak goreng adalah salah satu kebutuhan harian yang tergolong sembilan bahan pokok (sembako).

Kebijakan pemerintah melepaskan harga minyak goreng kemasan sesuai mekanisme pasar menjadi ‘pil pahit’ yang harus ditelan mentah-mentah oleh rakyat. Karena seolah pemerintah berlepas tangan dengan situasi yang terjadi. Selama tata kelolanya masih sama, masalah kelangkaan dan harga minyak goreng yang tidak pasti akan tetap berputar disitu saja. Alih-alih kebijakan tersebut menjadi jalan tengah atas kelangkaan minyak goreng, kebijakan ini justru makin membuat rakyat menjerit.

Sebuah Ironi

Pemandangan antrean minyak goreng (migor) di beberapa minimarket, maupun swalayan beberapa waktu lalu masih menjadi momen yang tak terlupakan. Bahkan seorang Ibu rumah tangga di Samarinda, harus bertaruh nyawa karena kelelahan setelah antre berjam-jam demi sebungkus minyak goreng. Belum lagi perang urat saraf antar warga dan petugas swalayan, serta aksi saling berebut stok karena susahnya mendapat migor di pasaran. Meskipun pemerintah sudah mengupayakan operasi pasar murah, tetapi tetap saja migor ini masih langka ditemukan di pasaran..

Sementara di satu sisi, ramai pemberitaan media massa tentang partai politik yang sedang sibuk membagi-bagikan minyak goreng atau membuka operasi pasar murah dengan harga Rp10.000 saja per liternya. (katadata, 15/3/2022). Anehnya, upaya parpol meraih simpati publik di tengah kisruh migor ini bukannya mendapatkan apresiasi dan pujian dari masyarakat, warganet yang sakti nan kritis justu mempertanyakan, kok bisa parpol tersebut mendapatkan banyak stok minyak goreng untuk dibagikan atau dijual lagi dengan harga murah sementara masyarakat susah? Bahkan ada yang sampai memiliki stok 16 ton (8/3/2022). Pertanyaan ini cukup menggelitik, jadi sebetulnya yang menimbun minyak goreng itu siapa?

Episode ini pun berlanjut, ironi yang tak kalah mencengangkan ialah tersebarnya kabar kebocoran distribusi pasokan minyak goreng dari hasil kebijakan DMO hingga 415 ton keluar negeri. Penjualan ini dilakukan melihat besarnya keuntungan yang didapat oleh swasta yang lebih memilih eskpor, lantaran harga jualnya mengikuti harga Internasional yang relatif tinggi ketimbang harga jual domestik yang harganya dipatok lebih murah. Padahal, seharusnya ketersediaan 415 ton minyak goreng murah ini mampu memenuhi kebutuhan domestik hingga 1,5 bulan ke depan.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button