Ironi Negeri Penghasil Sawit: Habis Langka Terbitlah Mahal
Selain itu, kebocoran distribusi itu juga terjadi pada alur distribusi di tingkat D1 dan D2. Menurut Mendag masih ada sejumlah spekulan di dalam negeri yang menahan pasokan domestik sembari menunggu pemerintah mencabut kebijakan HET minyak goreng hasil DMO. Lengkap sudah espisode tentang minyak goreng di negeri kaya sawit ini. Tidakkah kita gerah dengan sistem kapitalisme yang telah memimpin kehidupan saat ini? Hasilnya hanya terus membuat rakyat menderita. Ini baru satu kasus tentang minyak goreng, masih ada seribu satu masalah yang mendera negeri dan sampai hari ini disebabkan oleh sistem yang tampak gagal mengurusi hajat hidup rakyatnya.
Mengurai Benang Kusut
Mengurai permasalahan pertama, di tengah sulitnya rakyat yang harus antre berjam-jam hingga bertukar nyawa demi sebungkus minyak goreng. Dalih yang dipakai adalah adanya kenaikan harga komoditi bahan baku CPO. Alasan ini sepertinya selalu jadi pegangan penguasa saat menyikapi beberapa komoditi yang susul menyusul mengalami kenaikan, sebutlah listrik dan BBM yang sudah lebih dulu naik karena alasan yang sama, lantaran pemerintah gagal mengendalikan migor dari segi pasokan maupun harga yang terjangkau. Akhirnya keputusan menyerahkan harga pada mekanisme pasar menjadi senjata ampuh untuk berlepas diri dari ruwetnya polemik ini.
Jika mau jujur, sebenarnya akar persoalan minyak goreng hari ini bukan karena Indonesia tidak memiliki bahan baku untuk produksi minyak goreng. Namun, kurang tepat sejak awal pengelolaan kelapa sawit berbuntut panjang hingga saat ini. Sepatutnya, bahan baku (CPO) tidak diekspor dan negara memfasilitasi pengolahan minyak goreng sawit secara independen. Sebab, akar persoalannya terletak pada jumlah ketersediaan bahan baku untuk produksi domestik yang mana jumlahnya hanya 20% saja. Oleh karenanya gonta-ganti kebijakan dengan dicabutnya HET minyak goreng belum menyentuh akar persoalan, malah membuat masyarakat bingung dan tertekan.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah mulai dari instruksi kepada oknum untuk tidak melakukan penimbunan, sampai ancaman agar masyrakat tak punic buying pun telah dilakukan, tampaknya hanyalah solusi pragmatis yang tidak menyelesaikan sengkarut minyak goreng hingga ke akar masalahnya. Semestinya kita malu dengan predikat penghasil minyak sawit terbesar di dunia, tapi langka di negeri sendiri.
Kemudian di tengah kelangkaan, ada parpol yang mendapat stok hingga 16 ton untuk melakukan operasi pasar murah. Kehadiran pasar murah layaknya oase di tengah gurun, keberadaanya sangat dibutuhkan sehingga tak heran rakyat sangat antusias. Namun, seharusnya tidak dilakukan oleh parpol dan hanya saat krisis saja, sebab kebutuhan pokok itu bersifar konsisten dan berjangka panjang untuk keberlangsungan hidup manusia. Bukankah menjadi tugas negara termasuk menyediakan bahan pokok masyarakat yang terjangkau/murah?
Jika operasi pasar murah ini diboncengi oleh beberapa parpol, motif politiknya pun sudah terbaca yakni sarat akan kepentingan mereka demi meraup simpati rakyat. Sementara itu, tidak ada jaminan pula hadirnya pasar murah dapat menekan laju harga dan mencukupi kebutuhan migor warga. Kenaikan berulang menunjukkan ada kekeliruan pengurusan oleh penguasa. Mengkritisi permainan harga, dalam sistem kapitalisme ini para spekulan dibebaskan untuk memainkan harga dengan menggunakan teori invisible hand (tangan tak terlihat) sehingga spekulan kerap kali tidak tersentuh aparat untuk ditangkap.
Selanjutnya, drama saat Kemendag mengakui kecolongan ekspor minyak goreng akibat adanya DMO, menunjukkan adanya persoalan salah tata kelola komoditas ini. Melalui Kemendag, pemerintah mengakui bahwa ada kesalahan kebijakan yang menyebabkan harga migor melonjak. Selama ini harga migor domestik bergantung pada harga CPO internasional, sehingga ketika harga CPO dunia naik, harga migor di dalam negeri juga ikut melonjak.
Persoalan tata kelola minyak goreng bukan pada aspek itu saja, tetapi juga pada aspek distribusi. Jalur distribusi minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh segelintir konglomerat pengusaha. Akibat penguasaan dari hulu hingga hilir, pengusaha leluasa mengatur harga migor. Inilah potret hubungan penguasa dan pengusaha dalam sistem kapitalisme, pengusaha berwenang mengatur kebijakan negara, sementara penguasa hanya sebagai pengamat. Negara dikuasai pengusaha, atau istilahnya adalah korporatokrasi.
Kebijakan pemerintah menetapkan HET migor juga bermasalah. Penetapan HET justru menjadi celah para spekulan untuk melempar stok migor ke sektor yang lebih menjanjikan profit, seperti ke pasar tradisional atau ke anak perusahaannya sendiri.