OASE

Isilah Jabatan Publik dengan Orang-Orang Saleh

Raja raja Disebutkan dalam Bentuk Buruk

Ketika Allah menceritakan raja-raja yang saleh, maka ketahuilah, mayoritas ayat Al-Qur’an menyoroti para penguasa, pembesar kaum, pemilik harta, bahkan tokoh masyarakat, dengan nada negatif. Fir’aun misalnya. Tiran Mesir itu disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 74 kali. Dalam surat Thaha ayat 24 dan 43, Fir’aun digambarkan sebagai orang yang “Thagha”.

Kata “Thagha” sendiri adalah ungkapan yang menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang memiliki sifat tiranik, yakni sikap yang selalu ingin memaksakan kehendak kepada orang lain -layaknya Tuhan yang punya kelebihan untuk memaksa- tanpa memberi peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas. Imam Ibnu Katsir menuliskan dalam Qashash Al-Anbiyaa’, Firaun memiliki sifat angkuh, sombong, congkak, arogan, hanyut dalam duniawi, dan menolak untuk taat kepada Allah.

Dalam ayat yang lain, Allah menerangkan sebab kehancuran sebuah negeri adalah ketika orang kaya pemilik modal, tokoh masyarakat pembesar kaum, berbuat kerusakan dan mencoreng moral. Maka kalau sudah begitu, wajar kemudian Allah menimpakan hukuman berupa azab yang merata, yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim secara khusus, namun juga merata menimpa orang-orang saleh juga. Jika orang-orang yang dijadikan tokoh dan tauladan malah aktif berbuat kerusakan, maka sudah tidak ada lagi alasan bagi Allah tidak menyegerakan hukumannya. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” [Q.S. Al-Isra’/17: 16]

Allah kalau hendak membinasakan suatu negeri maka kerusakan di negeri itu pasti dimotori oleh orang-orang besar (muth-raf) yang harusnya menjadi teladan, malah menjadi orang terdepan melakukan kerusakan. Kalau saja orang-orang besarnya berani melangkah berbuat kerusakan, maka rakyat jelata akan mengikutinya bahkan dapat berbuat lebih buruk lagi, seperti kata pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.

Kalau sudah begitu, kerusakan itu pasti merata karena menjadi etos kebiasaan masyarakat. Seperti kebiasaan korupsi/sogok dalam pentas politik Indonesia hari ini, para pemilik modal mampu berbuat sewenang-wenang mempengaruhi kebijakan pemerintah dan sanggup ‘menghasut’ pemerintah untuk merampas tanah rakyat dengan dalih investasi dan kebijakan prioritas nasional.

Yusuf Meminta Jabatan

Berbeda dengan kisah para raja yang telah kita sebutkan tadi, Yusuf ketika di Mesir mendapatkan karunia menjadi bendahara kerajaan, kemungkinan seperti atau setingkat menteri keuangan hari ini. Hal ini bermula dari kertertarikan raja tersebut dengan pribadi Yusuf yang dinilai amanah dan memiliki kemampuan untuk dilibatkan dalam pembangunan Mesir.

Ketika ditawarkan kepada Yusuf untuk menjadi orang dekat raja, Yusuf justru melihat lebih mashlahat jika ia dijadikan bendahara, karena Yusuf adalah orang yang amanah lagi dapat dipercaya dan memiliki ilmu dan kemampuan di bidang itu. Allah Ta’ala menceritakan dialog tersebut:

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (54) قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button