Isilah Jabatan Publik dengan Orang-Orang Saleh
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” [Q.S. Al-Qasshash/28: 56]
Berdasarkan ayat ini, mari fokuskan pada kata Al-Quwwah/Al-Qawí & Al-Amãnah/Al-Amin.
Kedua kata ini sebenarnya adalah bentuk lain dari kata Àlim dan Hafizh. Mengutip pandangan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Siyasah Syar’iyyah, yang dimaksud Al-Quwwah/Al-Qawi (secara harfiah bermakna kekuatan) adalah kecakepan atau kemampuan seseorang pemimpin pada bidang yang ia pimpin. Contohnya panglima perang, beliau harus memiliki keberanian dan kecakepan dalam berperang yakni mengetahui strategi perang. Tanpa keduanya, ia tidak mampu memimpin pasukannya.
Point kedua adalah Al-Amãnah/Al-Amin atau Àlim-Îlmu. Adapun yang dimaksud dengan amanah dan alim adalah pemimpin selain memiliki kemampuan juga memiliki khãsy-yatullah atau memiliki sifat dan rasa takut kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia.
Kesimpulan ini beliau ambil dari firman Allah dalam Q.S. Al-Mãidah ayat 44, “Janganlah kalian takut kepada manusia, takutlah kepadaKu; dan janganlah kalian memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”
Dua kata ini Àlim- Al-Qawí dan Hafizh-Al-Amãnah (Q.S. Yusuf/12: 54-55 & Q.S. Al-Qasshash/28: 56) dengan tegas menyatakan syarat seorang pemimpin ada dua, alim-kuat dan hafiz-amanah. Makna ilmu dan kuat adalah kecakepan dan kemampuan. Sedangkan hafiz dan daat menjaga amanah dan dasarnya adalah khãsy-yatullah – takut kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia.
Kesimpulan
Sejatinya, meminta jabatan itu adalah akhlak yang buruk dan sifat yang dicela. Namun jika hal tersebut adalah masalahat maka boleh dilakukan bahkan mustahab/sunnah. Khususnya di saat jabatan dan kekuasaan dikuasai oleh orang-orang yang tidak amanah dan tidak memiliki kemampuan. Terkait dengan jabatan di runag publik, Yusuf adalah teladan yang nyata, jelas dan tegas terkait sikap seorang muslim yang memiliki kesempatan merubah ruang publik melalui jalur kekuasaan.
Melalui kekuasaan, seorang muslim yang soleh dan komit kepada agama mampu merubah apa yang tidak dapat dirubah melalui mimbar ceramah dan nasihat-nasihat para ulama. Jika ruang publik itu hanya dapat direbut dengan mekanisme yang berlaku, maka rebutlah ia dan jangan biarkan ia dikuasai oleh orang yang tidak bertanggungjawab.[]
M. Reza Prima Matondang M.E, Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah