#Lawan IslamofobiaMUHASABAH

Islamofobia di Antara Kita

Islamofobia

Meski demikian, waktu berlalu begitu cepat. Situasi berubah silih berganti. Hari-hari ini kita menyaksikan begitu banyak orang yang ketakutan mendengar istilah “syariat Islam”. Apalagi istilah “khilafah”. Ketakutan ini kita kenal sebagai Islamofobia. Ketakutan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Dan anehnya, yang mengalami ketakutan itu bukan hanya kalangan non-muslim. Bahkan tidak semua non-muslim juga. Tetapi justru sebagian orang dari kalangan muslim sendiri. Apalagi bila mendengar istilah khilafah. Karena itu, masuk akal kalau perjuangan untuk mendirikan negara Islam justru ditolak oleh kalangan muslim sendiri.

Sebab itu, kita tidak perlu kaget ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan. Karena dianggap akan menyebarkan ajaran khilafah. Dituduh hendak mengganti dasar negara Pancasila dengan sistem pemerintahan Islam. Dengan konsep khilafah Islamiyah. Yang bagi mereka yang phobi, tidak begitu jelas wujudnya. Tapi sangat ditakuti.

Pembubaran HTI, bagaimanapun, hanyalah soal momentum. Soal waktu yang tepat. Prosesnya sudah berlangsung lama. Sejak kecenderungan Islamofobia itu terus menyebar. Ibarat penyakit menular. Terutama sejak meningkatnya kesadaran di kalangan sebagian umat. Untuk berislam secara kaffah. Ketika sebagian dari mereka terobsesi untuk menjalani kehidupan Islami yang komplit plit. Seperti di zaman nabi. Dengan tujuan utama menyandarkan seluruh sisi kehidupan kepada tujuan hakiki kehidupan itu sendiri. Yaitu untuk memperhambakan diri kepada satu-satunya Zat yang hanya kepada-Nya kita patut memperhambakan diri.

Masalahnya, bagi yang mengalami phobi, persoalannya tidak sampai di situ. Mereka kemudian bahkan phobi terhadap cara berpakaian sebagian muslim itu. Dengan celana cingkrang. Bahkan penggunaan cadar untuk kaum wanita. Dan munculnya tanda-tanda keseriusan dalam ibadah di kalangan umat. Seperti jidat yang menghitam. Akibat terlalu seringnya sujud ke bumi. Termasuk juga soal pemeliharaan jenggot. Cara berpakaian sehari-hari. Yang menurut mereka, sesuai dengan kebiasaan para salafus saleh di zaman nabi. Yang semuanya menggambarkan intensitas seseorang mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Sesuatu yang mestinya tidak perlu ditakuti.

Persoalannya, ketakutan itu kini sudah mengerucut menjadi langkah-langkah yang terencana. Karena phobi terhadap segala sesuatu yang berbau Islam tidak hanya dialami sebagian masyarakat saja. Tapi sudah sampai pada pejabat pemerintah. Entah apa pun alasannya. Sehubungan dengan itu, ormas efpiai kemudian juga dibubarkan. Menkopolhukam Prof. Dr. Mahfud MD mengumumkannya. Karena, kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, efpiai sudah tidak lagi memiliki legal standing. Karena itu, ormas tersebut dinyatakan bubar.

Melalui tulisan ini penulis tidak ingin memasuki ruang yang lebih sempit. Soal tekanan yang diberikan pemerintah terhadap ormas itu. Soal Ibehaeres yang terdampar 3,5 tahun di Arab Saudi. Karena tidak diberi akses untuk pulang ke tanah air. Setelah pulang, dia pun ditangkap dan dipenjarakan. Begitu juga soal terbunuhnya enam laskar efpiai. Dibekukannya rekening semua pihak yang terkait dengan ormas itu. Dan banyak hal lainnya. Semuanya berdasarkan tudingan. Karena ormas ini dianggap radikal.

Cukuplah Allah Sebagai Penolong

Mereka yang dapat berpikir jernih tentu dapat memahami. Semua ini adalah “sense of politics”. Sebut saja politik penghancuran terhadap Islam dan umat Islam. Kok bisa? Pertama, karena kekuatan-kekuatan anti-Islam itu semakin membesar. Tidak lagi hanya sebatas di kalangan warga negara. Tapi sudah sampai pada tingkat pengambilan kebijakan di dalam pemerintahan. Kebangkitan neo-PKI, misalnya, telah disuarakan sejumlah kalangan. Meski penguasa menutup mata dan telinga. Sehingga tantangan yang dihadapkan pada umat Islam sekarang begitu besar. Situasinya 11-12 dengan situasi ketika PKI begitu kuatnya di era akhir Orde Lama.

Kedua, karena umat Islam itu lemah. Meskipun Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tapi kekuatan mereka sangat kecil. Menurut sebuah survei yang dilakukan Lembaga Win/Gallup International tahun 2015, penduduk Indonesia yang mengaku religius sebanyak 82 persen dari total responden. Tapi Indonesia tak masuk jajaran lima besar negara paling religius. Penduduk Thailand dinyatakan paling religius. Berada di urutan pertama. Karena 93 persen warganya menyatakan diri taat menjalankan perintah agama. Sedangkan di Indonesia tidak.

Di sisi lain, menurut hasil survei oleh Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta tahun 2017, 60 sampai 70 persen umat Islam di Indonesia belum bisa membaca Al-Qur’an. Padahal 87 persen dari lebih 260 juta penduduk kala itu adalah muslim. Karena itu, masuk akal kalau resistensi terhadap penegakan ajaran Islam itu sangat besar. Bahkan dari kalangan muslim sendiri.

Melihat segala tantangan di atas dan kompleksitas persoalan yang dihadapi umat Islam di negeri ini, tampaknya upaya untuk menegakkan syariat Islam bukan sesuatu yang mudah. Hal ini sepatutnya dipahami oleh kalangan generasi muda. Khususnya mereka yang termotivasi untuk berkiprah dalam dakwah. Baik secara lisan maupun tulisan.

Akhirnya, bila semua langkah yang diayunkan ternyata menghadapi rintangan yang tidak kecil, maka jalan satu-satunya hanya berserah diri dan bermunajat kepada Allah. Dengan memperbanyak zikir: “hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wani’man nashir.” Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung. (QS. Ali Imran, ayat 173).

Dan berpegang teguh dengan keyakinan akan firman Allah: “wamakaru wamakarallah. Innallaha khairul makirin”. Mereka membuat tipu daya. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pembuat tipu daya. (QS. Ali Imran 54). []

Nasmay L Anas
Wartawan Senior di Bandung, Pemerhati Sosial Politik

sumber: cowasjp.com

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button