Islamofobia Merajalela
NKRI Bersyariah
Pasca Ijtima Ulama IV di Sentul, Bogor, 5 Agustus lalu gagasan NKRI Bersyariah dijadikan bulan-bulanan di media konvensional. Media-media itu menghajar gagasan ini dengan mengabaikan prinsip keberimbangan informasi (cover both side).
Gagasan NKRI Bersyariah yang diusung Forum Umat Islam (FUI), yang kemudian secara konsisten terus disuarakan oleh Front Pembela Islam (FPI) sejatinya bukan barang baru. Gagasan ini muncul sejak tujuh tahun lalu. Istilah NKRI Bersyariah muncul setelah kaum liberal melakukan aksi #IndonesiaTanpaFPI pada 14 Februari 2012 yang lalu dijawab dengan aksi #IndonesiaTanpaLiberal dan #IndonesiaTanpaMaksiat.
NKRI Bersyariah, menurut Sekjen FUI KH Muhammad Al Khaththath, hanyalah upaya mengingatkan penyelenggara negara agar melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 yang murni dan konsekuen. Sesuai dengan yang termaktub dalam UUD 1945, bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam bahasa sederhananya, NKRI Bersyariah adalah NKRI yang melaksanakan syariat Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa. Adakah yang salah?.
Mestinya, gagasan ini tidak terlalu istimewa. Sebab selama ini masyarakat juga sudah mengenal ekonomi syariah, sperbankan syariah, asuransi syariah, rumah sakit syariah, perda syariah, makanan dan minuman halal, wisata halal, bahkan spa syariah.
Radikalisme dan Wahabi
Dua istilah ini, radikalisme dan Wahabi, barangkali menjadi istilah ‘ngetrend’ saat ini tapi dengan pergeseran makna. Keduanya telah bergeser dari istilah akademis menjadi istilah politis.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan radikalisme dengan tiga penjelasan: (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Definisi kedua dari KBBI inilah yang dikutip Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam buku “Ensiklopedi Pencegahan Terorisme.”
Sementara tentang Wahabi atau Wahhabiyyah, Prof Dr Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya “Tarikh al-Madzhahib al-Islamiyyah” menyebutkan, Wahabi adalah aliran yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab (w. 1787 M) di Arab sebagai reaksi terhadap sikap pengultusan dalam bentuk mencari keberkatan dari orang-orang tertentu serta mendekatkan diri kepada Allah melalui ziarah ke kubur mereka, di samping terhadap bid’ah yang telah mendominasi berbagai tempat keagamaan dan aktivitas duniawi. “Wahhabiyyah datang guna melawan semua penyimpangan ini dan menghidupkan kembali mazhab Ibn Taimiyyah,” tulis Anggota Akademi Penelitian Islam (Majma al-Buhuth al-Islamiyyah) Universitas al-Azhar Kairo, Mesir itu.
Bergeser dari makna akademis itu, sekarang istilah radikalisme dan Wahabi menjadi sebuah stigma negatif. Mereka yang membawa bendera tauhid, belajar Islam kaaffah, menyuarakan syariah apalagi khilafah disebut radikal. Sementara mereka yang ingin menghidupkan sunnah baik dalam perlaku pribadi maupun keluarga disebut Wahabi. Simplifikasi persoalan.