Istana ‘Menara Gading’ yang Retak
Oligarki korporasi juga punya perhitungan yang cermat. Mereka juga gak mau dibuat “mati konyol” gegara “money politic” yang boleh jadi saat ini situasinya seperti pisau terbang yang bisa menjadi bumerang yang akan bisa membunuh mereka sendiri: dikarenakan sudah ada gerakan “pengelabuan” yaitu dengan cara dikelabui pendukung “abu-abu” yang tengah viral di medsos —sebagai simbol “revolusi perlawanan” untuk menggembosi oligarki itu dengan berpura-pura boleh menerima amplop “money politic”, tetapi di bilik suara pendukung “abu-abu” justru akan mencoblos lawan politiknya. Betapa tidak! Situasi demikian bakal akan bangkrutlah mereka oligarki itu.
Terlebih, betapa sangat mahalnya membiayai ambisi luar biasa partai oligarki di Istana Menara Gading yang sesungguhnya sudah retak dan sangat rapuh itu, tetapi memaksakan diri untuk meraih kemenangan Pilpres 2024 itu.
Terbukti, boleh jadi kelima anggota partai oligarki sampai menyusun strategi ganda pemenangan. Ada koalisi utama pemenang, yaitu PDIP dan PPP yang memasangkan bacapres Ganjar Pranowo – Sandiaga Uno. Juga ada koalisi cadangan terdiri dari Gerindra, Golkar, PKB dan PAN yang akan memasang pasangan bacapres: Prabowo Subianto-Mahfud MD, Prabowo Subianto-Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto-Erick Thohir dan atau Prabowo Subianto-Cak Imin.
Strategi ganda meraih kemenangan itu “dimainkan” guna melapisi peraihan suara yang nanti di Pilpres 2024 60% hingga 70% didominasi komunitas usia pemilih milenial dan produktif. Di samping untuk “memecah” perolehan suara dari komunitas mayoritas umat Islam yang cenderung nyaris terakumulasi seluruh dukungannya kepada lawan politiknya.
Menurut catatan Naniek S Deyang, —seorang tokoh wartawan senior, strategi ganda pemenangan itu telah membuat “sumringah” para oligarki korporasi itu sudah pasti menandai kebersetujuannya.
Dan karena mereka sudah terlanjur“berkomersialisasi politik”, belum lagi oligarki itu akan mencairkan lagi tambahan membiayai “dana tambalan politik” yang pecah dan bocor di inheren eks partai oligarki, sekaligus sebagai upaya uji kesungguhan bahwa mereka masih berkomitmen dan konsisten mendukung KPP, seperti terbentuknya Go-Anies dari partai Golkar, Anies Amanat Nusantara dari partai PAN, dan Forum Ka’bah Membangun dari PPP. Atau dukungan kepada KPP dan Anies dari beberapa DPC PDIP du pelbagai daerah, terutama dari provinsi Jawa Tumur.
Jadi, bisa dibayangkan akan sangat luar biasa besar oligarki korporasi membiayainya dan itu semua membuat proses demokrasi jadi tidak sehat: kotor, licik dan penuh kecurangan. Bahkan, akan turut menjadi beban negara dan bangsa, padahal itu hanya dilakukan oleh oknum elite partai politik dikarenakan muaranya pasti oligarki korporasi meminta “vested interested” berupa tanggung rente yang jumlahnya bakal tak terkira dan tak terbatas:
Seringkali menguras harga diri dan kedaulatan bangsa dan negara. Bahkan, sakit hatinya mengarah kepada pelecehan idiologi Pancasila yang segalanya serba tidak dinafikan, diindahkan dan dipedulikan.
Lihat saja sekarang arah perjalanan negara sudah menggejala menuju terciptanya negara oligarki. Semua elemen lembaga dan komisi tinggi negara malah jadi nurut lan manut kepada Istana. Kabinet Jokowi sendiri yang kini dijuluki adagium kabinet “Penguasa-Pengusaha” belalai bisnisnya kemana-mana berkonspirasi dengan oligarki korporasi konglomerasi sembilan naga. Hingga poros pun semakin berkiblat ke negara komunis RRC-Tiongkok alias “brotherhood”nya negara oligarki itu. Sudah diidentifikasi lima belasan ribu lebih proyek itu bekerjasama dengan RRC-Tiongkok demi mengikat kesuksesan mewujudkan IKN. Tetapi, tak pernah mengaca belajar dari kekisruhan bagaimana investasi dari proyek kereta api cepat Bandung-Jakarta.
Tetapi, yang paling berbahaya ciri utamanya, adalah mudah membuat dan membuka peluang dan kesempatan korupsi terjadi di mana-mana. Mafia pajak yang bisa menggasak 349 T di Kemenkeu —padahal normalnya bisa untuk membiayai tiga kali pembangunan kereta cepat tidak hanya Jakarta-Bandung tetapi menyambung sampai ke Semarang dan Surabaya.
Juga banyak memunculkan mafia tambang, migas, sampai mafia peradilan yang mampu jadi melanggengkan deretan mafia kriminal yang sungguh sudah sangat merusak segala sendi kehidupan keluarga, masyarakat, negara bahkan bangsa.
Itulah dampak hebat dan luar biasa merusak dari akibat politik demokrasi yang dibuat bobrok, serampangan, dan keblabasan hanya demi kepentingan ambisi dan nafsu serakah oknum para elite pemimpin politik itu.