OPINI

Isu Radikalisme dan Aksi Damai 212

Dimunculkannya kembali isu radikalisme masjid dan penceramah menunjukkan tingkat kepanikan yang tinggi rezim sekuler neolib menghadapi kesadaran politik umat Islam yang kian menguat, terutama jelang Aksi Bela Tauhid 212. Namun, apa yang masyarakat lihat saat aksi 212 lalu adalah sebuah aksi simpatik yang dilakukan secara damai dan tertib. Sangat jauh dari unsur radikal dan kekerasan.

Radikalisme yang dialamatkan kepada umat Islam dan ormas-ormas dakwah yang ada di negeri ini, sungguh telah terbantahkan dalam kegiatan aksi bela tauhid 212. Pada aksi tersebut, telah nyata persatuan dan kebangkitan umat, dengan rasa cinta dan persaudaraan mereka mampu menyatu tanpa iming-iming bayaran, meski berdesakan (karena dihadiri sekitar 10 juta orang) namun tak satupun tindakan anarkis terjadi dan aksi radikal yang seiring dialamatkan pada umat Islam.

Isu-isu radikal sengaja dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak senang pada aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan para penceramah. Sejatinya para penceramah dan ustadz-ustadz tersebut menyuarakan aspirasi umat yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah. Upaya menasihati penguasa adalah sebuah kewajiban bagi umat Islam, agar pengurusan dan pelayanan hak-hak rakyat dapat dipenuhi secara baik oleh penguasa dan tidak menyimpang dari syariat Islam.

Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan istilah radikalisme, dalam kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry diartikan sebagai paham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai kemajuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Jika mengacu pada istilah radikalisme tersebut maka apa yang dilakukan para penceramah maupun umat Islam secara general dalam upaya dakwah (menyeru) Islam dan kebaikan, tidak terkatagorikan radikalisme. Justru apa yang dilakukan oleh umat Islam adalah bagian dari syariat Islam yang merupakan kewajiban bagi seluruh Muslim baik laki-laki dan perempuan. Berdakwah adalah tugas mulia dalam pandangan Allah, sehingga dengan dakwah tersebut Allah menyematkan predikat khairu ummah (sebaik-baik umat) kepada umat Muhammad SAW, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS: Ali-Imron 110).

Upaya dakwah yang dilakukan dengan cara damai, tanpa kekerasan dan berkelanjutan akan meniscayakan sebuah perubahan pemikiran dan perasaan di tengah umat, sebagaimana thariqah (metode) dakwah yang dilakukan Rasulullah Saw.

Ketika umat Islam telah tercerahkan pemikirannya oleh Islam berkat aktivitas dakwah yang sustainable, maka perubahan ke arah Islam tak bisa dihindari. Umat Islam secara sadar akan kembali pada kehidupan yang Islami dalam setiap aspek kehidupan mereka. Aksi 212 makin menunjukkan bahwa kesadaran umum akan kezaliman penguasa dan tidak mampunya hukum saat ini menyelesaikan problematika yang terjadi, pada akhirnya menghasilkan gerakan intelektual untuk kebangkitan Islam dan persatuan umat.

Untuk itu, saat ini umat tidak boleh terpengaruh isu-isu yang terus mendiskreditkan umat Islam karena Islam bukan ajaran radikal tapi hukum-hukumnya justru membawa kebaikan bagi umat manusia. Penentangan terhadap arus kebangkitan Islam merupakan sunnatullah. Umat justru harus segera menentukan sikap untuk berada di barisan perjuangan mengembalikan Islam dalam pengaturan kehidupan.[]

Dr. Retno Muninggar, S.Pi, M.E.
Dosen

Artikel Terkait

Back to top button