SUARA PEMBACA

Iuran BPJS Dinaikkan: Jangan Bilang Demi Rakyat, Itu Dusta!

Pandemi corona masih menjadi momok bagi masyarakat. Badai PHK menambah berat beban hidup bagi 1,9 juta keluarga. Dan hebatnya, pemerintah justru menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan plus dendanya (suaraislam.id, 14/05/2020).

Ini kenaikan yang kedua sepanjang semester pertama tahun 2020. Pada Januari-Maret 2020 iuran BPJS Kesehatan naik, bersarkan Perpres No. 75 tahun 2019. Kenaikannya dua kali lipat dari semula. Dengan rincian iuran kelas 1 Rp160.000, kelas 2 Rp110.000, dan kelas 3 Rp42.000.

Kenaikan BPJS sebagai kado tahun baru itu pun digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan KPCDI. Pemerintah kemudian menurunkan iuran BPJS pada Maret-Juni 2020. Artinya, besaran iuran kembali Perpres No. 82 tahun 2018, kelas 1 Rp80.000, kelas 2 Rp51.000, dan kelas 3 Rp25.500.

Terbaru, Juli-Desember 2020 berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, tarif BPJS naik lagi. Kelas 1 Rp150.000, kelas 2 Rp100.000, dan kelas 3 Rp 25.500 (Rp 42.000 dikurangi subsidi pemerintah Rp16.500). Sungguh kebijakan yang tidak populis dan pro rakyat.

Dilansir detik.com (14/05/2020), BPJS Kesehatan menyebutkan bahwa kenaikan iuran adalah aspirasi masyarakat. Pertanyaannya, masyarakat yang mana? Sungguh kedustaan yang tersistem.

Ternyata masyarakatnya adalah para anggota DPR, yang menyebut dirinya wakil rakyat. BPJS Kesehatan sudah merasa memenuhi aspirasi anggota dewan, tidak menaikkan iuran kelas 3. Apakah peserta iuran BPJS kelas 1 dan 2 bahkan kelas 3 sekalipun, mampu membayar iuran BPJS di tengah krisis ekonomi yang parah ini? Kalau anggota dewan, pasti mampu dong. Asuransi kesehatan yang jauh lebih mahal dari BPJS pun dimilikinya.

Akhirnya, BPJS Kesehatan mengaku memiliki utang jatuh tempo hingga Rp4,4 triliun terhadap rumah sakit pada 13 Mei 2020. Selain itu, BPJS juga mengidap utang yang belum jatuh tempo senilai Rp1,03 triliun, sedangkan utang yang telah dibayarkan senilai Rp192,5 triliun dengan outstanding klaim sebesar Rp6,2 triliun (suaraislam.id, 14/05/2020).

Utang dan pendanaan yang defisit akan senantiasa menggerogoti BPJS Kesehatan. Itu adalah suatu keniscayaan. Pendanaan kesehatan bukanlah sesuatu yang murah, BPJS takkan mampu. Apalagi di sistem kapitalisme yang penuh dengan manipulasi ini. Mafia impor alkes dan obat-obatan, gaji direksi yang besar, dan sistem perasuransian yang diadopsi oleh BPJS, memperberat kerja BPJS.

Akibatnya, menurunnya kualitas pelayanan kesehatan. Mulai dari rendahnya klaim biaya perawatan dan tindakan hingga honor nakes dan operasional rumah sakit yang jauh dari standar. Ini terjadi semenjak sistem kesehatan diserahkan kepada pihak ketiga, BPJS.

Bermodal dari iuran rakyat, ibarat bendahara kelas yang mengumpulkan duit receh, BPJS Kesehatan didaulat mengelola duit itu untuk pembiayaan sistem kesehatan. Apa yang terjadi? Di tahun pertama kehadirannya, BPJS telah mengalami defisit.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button