Jadilah Radikal, Jangan Teroris
Orang-orang Kristen sendiri tidak mempedulikan istilah radikal dan moderat. Dr Adian Husaini memaparkan bukti ada sebuah buku Kristen yang berjudul: “Being Radical for Jesus, Membangun Dasar Kehidupan Kristen yang Radikal bagi Tuhan.” (Yogya: Penerbit Andi, 2016). “Tanpa iman yang radikal, gereja masa kini tidak akan mungkin melakukannya,” kata penulisnya dalam pengantar bukunya.
Tahun 2011, terbit buku berjudul: “Kami Mengalami Yesus di Bandung” (Jakarta: Metanoia Publishing, 2011), kaum Kristen ini menyatakan bangga, bahwa saat ini telah muncul anak-anak muda Kristen yang ‘dibangkitkan untuk mengikut Tuhan secara radikal’ (halaman 23).
Amanat Presiden Jokowi (dan BNPT) ini kemudian diterjemahkan kabinetnya. Yang pertama-tama mendapat getahnya adalah Hizbut Tahrir Indonesia. HTI dibubarkan karena gagasannya khilafah. Rocky Gerung memprotes keras keputusan pemerintah ini, karena merupakan hak asasi bagi warga negara untuk menginginkan negara komunis, negera sekuler, negara Islam dan lain-lain (asal konstitusional). Bila banyak kaum Muslim menginginkan khilafah ala Turki Utsmani, maka kaum non Muslim banyak menginginkan khilafah ala Amerika Serikat.
Kebijakan yang tidak bijak dari presiden ini, kemudian menimpa Front Pembela Islam (FPI). Setelah sebelumnya pemerintah melalui aparatnya menghalang-halangi penceramah-penceramah yang dicap radikal, seperti: Ustadz Abdul Shomad, Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Haikal Hasan dan lain-lain.
FPI, hanya karena menampilkan kata khilafah dalam AD/ART nya dibubarkan (kini FPI diopinikan oleh pemerintah terlibat dalam terorisme). Padahal ide khilafah FPI adalah kerjasama antar negara-negara Islam untuk memperkuat solidaritas dunia Islam sebagaimana OKI.
Kebijakan FPI pun selama sepuluh tahun terakhir tidak lagi melakukan ‘aksi-aksi kekerasan’ terhadap tempat-tempat maksiat. Dan Habib Rizieq –pimpinan FPI- sering menyatakan tidak setuju dengan aksi terorisme. Bila ada anggota FPI yang terlibat misalnya, itu menyalahi aturan FPI. Ibaratnya banyak anggota PDIP dan Golkar yang terlibat korupsi, toh dua partai itu tidak dibubarkan. Pemerintah di sini jelas melakukan kebijakan yang semena-mena terhadap FPI.
Selain terhadap ormas Islam dan tokoh-tokoh Islam, politik radikalisme juga menyasar kepada dunia kampus. Lewat penelitian Setara tentang Radikalisme di Kampus-Kampus, yang dimotori Hendardi dan Ade Armando, kampus-kampus negeri diintervensi. Di Universitas Indonesia, dosen-dosen yang dicap radikal diawasi dan tidak diberikan jabatan struktural. Lembaga Dakwah Kampus Salam UI tidak diperkenankan lagi sekretariatnya di Masjid UI. Di UGM, rektor melarang Ustadz Abdul Shomad berceramah di Masjid Shalahuddin UGM. Di ITB, dibentuk kelompok Gerakan Anti Radikalisme (GAR ITB) yang berhasil mencopot Prof Din Syamsuddin dari Ketua Wali Amanat ITB.
Kini politik radikalisme istana itu mulai ditembakkan pada Partai Keadilan Sejahtera. Ustadz-ustadz dari kelompok pro pemerintah, mulai mengorek-orek kaitan PKS dengan Ikhwanul Muslimin. Mereka mengopinikan bahwa Ikhwanul Muslimin penyebab kerusuhan di Suriah, krisis di Mesir dan lain-lain.
Satu-persatu kekuatan Islam dilemahkan dan dihancurkan di negeri ini. Politik radikalisme ini berhasil memecah belah umat Islam di tanah air. Radikal hanya milik kaum Muslim, kaum non Islam tidak ada yang dicap radikal meski mereka menyebut dirinya radikal.
Bila kita jernih berpikir, maka radikal ini adalah permainan kata (penguasa). Pedoman seorang Muslim adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad Ulama yang shalih. Jangan pedulikan kita dicap radikal atau moderat. Dalam bernegara tentu kita mencermati konstitusi. Asal jalur perjuangan kita konstitusional, jangan pedulikan julukan orang lain (termasuk media). Para founding fathers dan ulama kita dulu bangga disebut radikal karena melawan Belanda yang menjajah tanah air. Pada 1918, di Indonesia dibentuk “Radicale Concentratie” yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih kalangan rakyat.
Para pemimpin adalah kaum radikalis dan kaum moderat adalah pak turut. Kaum Islamofobia menginginkan kita menjadi pak turut. Wallahu azizun hakim.
Nuim Hidayat
Penulis buku “Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah”.