SUARA PEMBACA

Jangan Jadi Firaun Kedua, Berat!

Siapa yang tidak kenal Firaun? Rasanya semua muslim yang pernah membuka Al-Qur’an atau manusia pada umumnya yang membaca sejarah Mesir pasti kenal Firaun. Mahadiraja legendaris yang menemui ajalnya dengan sadis, tenggelam dalam Laut Merah bersama kedigdayaannya.

Kisah Firaun memuat banyak pelajaran bagi manusia yang tidak mau mengulang nasib sadis yang sama. Firaun, sang raja yang mengaku Tuhan telah ditenggelamkan oleh Tuhannya semesta alam karena kepongahannya. Pongah luar biasa hingga dia menolak beriman kepada Allah ‘Azza wa jalla, malah menantang Tuhan dan Rasul-Nya Musa, menobatkan dirinya sebagai tuhan tandingan. Dia jadikan Musa dan pengikutnya sebagai kriminal. Dia hukum semua orang yang beriman dengan kejam, hatta istrinya sendiri dilempar ke dalam minyak panas karena beriman. Dia kriminalkan ajaran Allah dan agama-Nya serta menjadikan Musa sebagai buronan wahid.

Maka kita bersama telah menyaksikan akhir hidupnya yang tragis. Saat Firaun mengejar Musa membabi buta, hingga tak dianggapnya terbelah laut oleh tongkat Musa sebagai mukjizat dari Allah, Allah mematikan hati dan telinganya dari memahami keadaan. Kemudian kuasa-Nya yang berjalan. Allah selamatkan Musa dan para pengikutnya yang beriman, lalu menenggelamkan Firaun dan pasukannya karena kekafiran dan kesombongannya. Terhinalah Firaun selamanya dalam catatan sejarah manusia, terhina pula ia nanti selamanya di neraka.

Sayang, kehinaan Firaun rupanya tak cukup membuat semua manusia jera dan mau mengambil pelajaran. Baru-baru ini, kabar tidak sedap dunia pendidikan menghembus dari Undip. Seorang Profesor pengajar Pancasila dan Filsafat Pancasila, Prof. Suteki, terancam dipecat dari jabatannya karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Penyebabnya status-status Suteki di Facebook yang banyak menyebut-nyebut Khilafah dan kehadiran beliau sebagai saksi dari Hizbut Tahrir Indonesia –ormas yang diperkarakan karena dianggap membawa ideologi Khilafah– dalam sidang gugatannya di PTUN.

Sampai-sampai Menristek Dikti, Mohamad Nasir turun tangan, meminta Rektor Undip untuk menindaklanjuti penonaktifan Suteki yang dinonaktifkan setelah bicara tentang Khilafah. Nasir mengatakan jika terbukti pro Khilafah, Suteki diminta memilih untuk kembali ke NKRI atau lepas jabatannya. Bahkan bila Rektor Undip tidak ‘menyelesaikan’ Suteki, rektornya yang akan ‘diselesaikan’ oleh Nasir (CNN Indonesia/7/6/2018).

Sungguh luar biasa pernyataan Menristek Dikti di atas! Pasalnya, memberi pilihan antara NKRI atau Khilafah adalah blunder bila dilihat dari sudut pandang keimanan. Bagaimana tidak? Khilafah bukanlah ide berbahaya melainkan bagian dari Islam yang disampaikan Rasulullah.

Bukankah Rasulullah telah menyampaikan tentang Khilafah? Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. sebuah hadis Rasulullah Sawyang artinya,’Dahulu politik Bani Israel selalu dipelihara oleh para Nabi. Setiap ada Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada Nabi lagi setelahku. Dan akan ada para Khalifah lalu mereka jumlahnya banyak…”.

Hadis di atas dengan tegas menyebut Khalifah, sebagai penerus dari pernyataan Rasul sebelumnya, “Tidak ada Nabi setelahku”. Ini karena Khalifah adalah penerus Nabi dalam mengemban risalah beliau yang telah sempurna untuk memimpin umat dengannya hingga akhir masa. Hadis yang senada masih banyak lagi. Lebih dari itu, Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum adalah para khulafaur-rasyidin, para Khalifah yang memimpin dengan Islam. Politiknya adalah Khilafah Islam yang berdasar teladan Nabi. Fakta ini dapat ditemukan dalam berbagai literatur sejarah Islam, sirah nabawiyah maupun sirah shahabat karangan berbagai ulama muktabar.

Bila Khilafah dan Khalifah ini jelas merupakan ajaran Islam, suatu terminologi yang berasal dari risalah Islam, lalu pantaskah pemerintah negeri manapun mengganggapnya sebagai ideologi yang sesat dan berbahaya? Ironinya, upaya monsterisasi Khilafah dan kriminalisasi siapapun yang mendakwahkannya ini justru merupakan bagian dari arus Islamofobia, usaha keji untuk membuat orang Islam takut pada ajaran agamanya sendiri dan malah menghamba pada musuh-musuh-Nya.

Cukuplah kehinaan itu berhenti pada Firaun saja, wahai para penguasa! Janganlah menjadi Firaun yang kedua, sungguh berat dosa yang ditanggungnya dan tragis nasibnya. Berhentilah menentang ajaran Allah, mengriminalkan dan memonsterkan Khilafah yang merupakan bagian dari risalah Rasulullah, bagian dari wahyu-Nya. Karena segala upaya untuk menyerang Islam pada dasarnya hanya melawan perintah-Nya. Menentang Allah adalah kehinaan dan pasti bukan pilihan orang beriman.

Maka kembalilah pada iman yang masih tersisa dalam dada, wahai penguasa! Sungguh tak akan ada manusia yang berkuasa melawan kehendak Allah jika Dia sudah berkehendak. Takutlah pada Allah dan bertaubatlah sebelum Allah mendatangkan azab seperti yang ditimpakan kepada Firaun. Sementara dunia dan segala mewah materi hanya fana, kehidupan akhirat yang kekal ditentukan oleh taubat kita hari ini. Karena itu, jangan jadi Firaun kedua, wahai Bapak/Ibu wakil rakyat yang terhormat! Karena neraka adalah tempat kembalinya, dan kehinaan adalah pakaian abadinya. Na’udzubillah min dzalik.

Indah Shofiatin
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarkat Unair, tinggal di Surabaya

Artikel Terkait

Back to top button