NUIM HIDAYAT

Jangan Mimpi Menang, Bila Berpecah Belah

Perpecahan mulai terlihat ketika masa Ali bin Abi Thalib. Saat itu ada kelompok yang pro Sayidina Ali dan ada kelompok yang pro Muawiyah. Perpecahan ini terus melanda meski saat itu kaum Muslim kebanyakan dipersatukan Khilafah yang dibentuk oleh Bani Umayah dan Bani Abbasiyah.

Kini perpecahan di dunia internasional lebih mengerikan. Negara-negara Arab terpecah belah dalam menyikapi zionis Israel. Mesir dan Uni Emirat Arab misalnya menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Yang lain, banyak yang menjalin hubungan dagang dengan Israel. Maka meski kini Israel terus membunuh umat Islam di Gaza, negara-negara Arab tidak berani mengambil sikap. Mereka diam dan hanya mengirim bantuan kemanusiaan, padahal korban sudah lebih dari 100 ribu orang.

Di tanah air kita juga merasakan kepedihan perpecahan umat Islam ini. Sebelum kita merdeka pada 1945, kaum Muslim banyak bersatu. Meski mereka terpisah-pisah dengan berbagai Kerajaan, tapi kerajaan-kerajaan Islam tidak berperang. Bahkan mereka menjalin kerjasama ketika Portugis dan Belanda menyerang tanah air.

Baca juga:
Mempersatukan Umat (1)
Mempersatukan Umat (2)
Mempersatukan Umat (3)
Mempersatukan Umat (4)

Pada 1945, ketika kita Merdeka, umat Islam masih bersatu. Pada November 1945, hampir seluruh ormas Islam bersatu membentuk Partai Islam Masyumi. Tapi perpecahan mulai 1952, ketika NU keluar dari Masyumi. NU protes karena Menteri Agama bukan berasal dari NU.

Jadi persatuan umat Islam hanya bertahan sekitar tujuh tahun saja. Setelah itu berpecah. NU merangkul Soekarno, Masyumi bermusuhan dengan Soekarno. Perpecahan itu terus terjadi hingga kini.

Perpecahan ini mengakibatkan tokoh-tokoh Islam yang tampil dalam pemilu, ‘selalu kalah’. Mulai dari Amien Rais sampai Anies Baswedan. Kelompok yang tidak suka tokoh Islam tampil, senantiasa memanfaatkan perpecahan umat Islam ini. Yang satu dirangkul, dan satu lagi dipukul.

Kenapa perpecahan ini terjadi? Banyak ulama yang telah menguraikan sebab-sebab perpecahan ini. Mulai dari karena tidak ikhlasnya dalam perjuangan, egoisme, nafsu jabatan/harta, hingga kelemahan iman.

Yang menarik uraian dari ulama besar, Mohammad Natsir. Natsir menyuruh kaum Muslim untuk merenungkan ayat,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Di ayat itu, Allah menyatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara bukan orang-orang Muslim bersaudara. Yang disebut orang mukmin, bukan orang muslim. Kenapa? Karena tingkatan mukmin lebih tinggi dari muslim. Orang yang bersyahadat ia Muslim. Tapi ketika ia meninggalkan shalat dan puasa Ramadhan misalnya, ia tidak disebut mukmin. Ia hanya muslim KTP. Orang mukmin adalah orang muslim yang menjalankan syariat Islam.

Maka mereka yang menjalankan shalat, puasa, zakat dan syariat Islam yang lain, akan mudah dipersatukan. Mereka yang mengaku Islam tapi sering berzina, korupsi, tidak shalat, sulit untuk dipersatukan. Para sahabat Rasulullah mudah dipersatukan Rasulullah, karena mereka orang-orang yang taat kepada Islam.

Orang-orang mukmin akan mempunyai prinsip yang sama dalam hidup. Mereka akan melandaskan hidupnya dengan Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad ulama yang shalih. Sedangkan orang-orang yang mengaku Muslim tapi fasiq atau zalim, melandaskan hidupnya pada hawa nafsunya. Maka jangan heran bila diajak untuk bersatu melawan penindasan Israel, bersatu memilih pemimpin Muslim yang hebat, mereka menolak. Muslim KTP ini memutuskan segala sesuatu berdasarkan nafsu atau kepentingannya. Godaan jabatan dan harta biasanya mengalahkan idealisme.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button