AKIDAH

Jangan Nodai Akidahmu Atas Nama Toleransi!

“Katakanlah (Muhammad, “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Di Setiap penghujung tahun selalu ada yang merayakan tahun baru, sebagaimana orang-orang kafir yang merayakan tahun baru disertai dengan hari-hari besar mereka seperti Natal. Tak terkecuali di zaman ini, pun banyak kaum muslimin yang ikut-ikutan merayakan tahun baru atas nama toleransi terhadap umat beragama.

Biasanya bila mendekati tahun baru pernak-pernik Natal kian bertebaran. Banyak pula dari kaum muslimin yang kerap dipaksa menggunakan atribut Natal, seperti beberapa karyawan karyawati muslim yang bekerja di beberapa supermarket yang dimiliki oleh non-muslim.

Hal ini menuai respon tegas dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 2016. MUI sebelumnya mengeluarkan fatwa nomor 56 tahun 2016 tanggal 14 Desember 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan nonmuslim. Fatwa itu menyatakan haram hukumnya bagi umat muslim, mengenakan atribut keagamaan umat agama lain.

Fenomena Nyata Tahun Baru

Perayaan malam tahun baru pada hakikatnya, adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani ataupun agama lainnya. Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa.

Natal dan tahun baru adalah satu paket. Hal ini merujuk pada kisah penanggalan 1 Masehi. Menurut catatan Encarta Reference Library Premium 2005, orang yang pertama membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada 45 SM, jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus.

Tetapi dalam perkembangannya, ada seorang pendeta Kristen bernama Dionisius yang kemudian memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itulah sebabnya penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti in the year of our lord) alias Masehi.

Pun ketika kita melihatnya fenomena semacam ini, banyak kemudharatan didalamnya. Banyak kemudian fakta pada masyarakat muslim yang merayakan tahun baru dengan cara bermaksiat, sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan begadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia.

Padahal dari segi budaya dan gaya hidup, perayaan tahun baru pada hakikatnya adalah senjata kaum kafir imperialis dalam menyerang kaum muslim untuk menyebarkan ideologi setan, yang senantiasa mereka emban yaitu sekularisme dan pemikiran-pemikiran turunannya seperti pluralisme, hedonisme-permisivisme dan konsumerisme untuk merusak kaum muslim, sekaligus menjadi alat untuk mengeruk keuntungan besar bagi kaum kapitalis.

Dalam menyasar pemikiran yang dilakukan barat terhadap kaum muslimin, sedikitnya pada 3 hal yaitu (1) menjauhkan kaum muslim dari pemikiran, perasaan dan budaya serta gaya hidup yang Islami, (2) mengalihkan perhatian kaum muslim atas penderitaan dan kedzaliman yang terjadi pada diri mereka, dan (3) menjadikan barat sebagai kiblat budaya kaum muslimin khususnya para pemuda.

Ini terlihat jelas pada perayaan tahun baru yang dirayakan, dan dibuat lebih megah dan lebih besar daripada hari raya kaum muslimin. Tradisi barat merayakan tahun baru dengan berpesta pora, berhura-hura diimpor dan diikuti oleh restoran, kafe, stasiun televisi dan pemerintah untuk mengajarkan kaum muslimin perilaku hedonisme-permisivisme dan konsumerisme.

Semua ini dikarenakan anggapan bahwa tahun baru merupakan momen untuk hura-hura, ditambah lagi faktor ketidaktahuan masyarakat akan fenomena tersebut. Padahal, seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.”

Islam Memandang

Jika kita pelajari dengan saksama sepanjang sejarah Islam, bahwa dalam Al-Qur’an Islam merupakan Agama yang paling toleransi terhadap pemeluk agama lain. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an tentang larangan bagi kaum muslimin untuk mengolok-olok Agama mereka.

Namun, toleransi dalam Islam bukan dengan ikut serta merayakan serta mengucapkan selamat kepada mereka, tetapi cukup dengan menghargai mereka dan tidak mengganggu mereka dalam beribadah ataupun perayaan semacamnya.

Allah berfirman dalam QS Al-Kafirun yang artinya: “Katakanlah (Muhammad, “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (Ayat: 1-6)

Artinya, perayaan apapun yang identik dengan hari raya non-muslim haram mutlak dilakukan oleh kaum muslimin. Baik itu membakar kembang api, tiup terompet, hura-hura bahkan bermaksiat dengan lawan jenis hukumnya haram.

Dalam Islampun, hari besar kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr).” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).

Dengan demikian, kita tak perlu takut dibilangin sok agamais, intoleransi, dll. Karena sesungguhnya, aturan Allah lebih sempurna dan banyak mengandung kebaikan didalamnya, kita tidak akan pernah tersesat dengan aturan Allah. Ia telah menjadikan Agama ini menjadi cahaya sepanjang masa. Wallahu’alam Bishshawab

Yusriani Rini Lapeo, S.Pd
(Pemerhati Ummat Konawe)

Artikel Terkait

Back to top button