NUIM HIDAYAT

Jangan Sesali Terus Kehilangan Tujuh Kata!

Move on. Jangan terus mengulang-ulang dan menyesali peristiwa yang menyesakkan dada umat Islam. Yaitu tanggal 17 Agustus dan 18 Agustus 1945.

Apa yang terjadi 17 Agustus 1945? Kemerdekaan. Tentu ini kita syukuri. Tapi ada satu kejadian besar yang kebanyakan kita tidak tahu. Bahkan sejarawan banyak yang tidak mengkritisi kejadian ini. Yaitu teks proklamasi yang dibaca Soekarno pada hari kemerdekaan.

Seperti yang kita ketahui, teks proklamasi yang dibaca adalah hasil dari coret-coretan Soekarno di rumah Laksamana Maeda pagi-pagi ‘subuh’ 17 Agustus. Teks yang buru-buru. Di rumah Laksamana Maeda saat itu ada Hatta, Soebarjo dll.

Benarkah BPUPKI tidak mempersiapkan teks proklamasi? Mungkinkah kejadian yang monumental dalam sebuah negara tidak dipersiapkan secara serius? Mungkinkan kemerdekaan sebuah negara proklamasinya hanya coretan tangan yang mendadak?

Inilah yang menjadi pertanyaan sejarawan Islam yang teliti. Menurut cendekiawan Islam, Endang Saifuddin Anshari, teks proklamasi sebenarnya sudah dipersiapkan. Menurut Endang, dalam tesis masternya ‘Piagam Jakarta 1945’, teks proklamasi yang harus dibaca ketika Indonesia sewaktu-waktu merdeka adalah teks Piagam Jakarta.

Teks piagam Jakarta adalah seluruh teks pembukaan UUD 1945 sekarang ini plus tujuh kata. Yaitu plus kata-kata ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’ Seperti kita ketahui, teks ini pada 18 Agustus 1945 diganti dengan Ketuhanan ‘Yang Maha Esa’.

Itu tragedi 17 Agustus. Tragedi 18 Agustus, lebih menyesakkan dada lagi. Rapat yang dipimpin Soekarno itu menghasilkan tiga keputusan yang merugikan umat Islam. Rapat itu berlangsung tidak sampai dua jam. Pertama, kata Mukadimah diganti pembukaan. Kedua, kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketiga, pasal presiden adalah orang Indonesia asli dan Islam, kata Islam dihapus.

Intinya dalam UUD 1945, kata Islam, semua dihapus. Itulah dosa politik Soekarno. Karena dia yang memimpin rapat. Jadi kalau ada yang memuji-muji Soekarno, entah kenapa saya tidak pernah kagum sama dia. Dia memang pemimpin dan punya andil dalam kemerdekaan RI. Tapi banyak yang dilakukannya setelah jadi presiden, merugikan rakyat Indonesia khususnya umat Islam. (Baca juga: Hitam Putih Presiden Soekarno)

Kita tentu mengeluskan dada dengan kejadian ini. Tapi sejarah bukan untuk disesali. Sejarah untuk diambil hikmahnya.

Memang kemudian, meski teks Piagam Jakarta yang asli ada yang dikurangi dalam pembukaan UUD 1945, tapi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sayangnya Soekarno tidak pernah merumuskan dekritnya ini dalam undang-undang. Hanya berhenti dalam dekrit saja.

Apa hikmah sejarah yang bisa kita ambil, sehingga kita tidak menyesali sejarah? Pertama, meski sila pertama telah diganti, tapi keseluruhan sila dalam Pancasila itu mencerminkan jiwa Keislaman. Sehingga tokoh Masyumi, Muhammad Natsir menyatakan bahwa Pancasila adalah bagian dari Islam. Bila Pancasila, ada lima sila (dasar), maka Islam itu ribuan sila (induk sila).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button