Jejak Ghirah “Revolusi Putih” HRS
Setelah sekian puluhan tahun direpresentasikan oleh partai-partai politik Islam yang sungguh masih belum menemukan sosok berpengaruh di politik kepemimpinan nasional secara signifikan. Padahal, umat Islam berstatus mayoritas di Indonesia.
Karena seorang HRS, adalah seorang Habibana, dalam tradisi Islam sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw, juga Ulama dan Kiai besar di Indonesia, bahkan secara informal sudah disebut sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia, maka sesuai syar’i dan tradisi kepemimpinan Islam di Indonesia, maka beliau sudah diakui dan mumpuni sebagai pemimpin secara informal umat Islam seluruhnya di Indonesia.
Bersama MUI, HRS pernah memimpin Ulama berkumpul memberikan putusan fatwa dan Ij’tima ketika mendukung Prabowo-Sandi menjadi calon Presiden 2019-2024, meskipun kemudian kandas namun diindikasi bahwa Pilpres kontroversial itu dinodai penuh kecurangan, “The Elections of Fraud”.
Makanya, mendekamnya HRS dipenjara itu dengan tuntutan empat tahun penjara —meski baru saja MA memberikan putusan hukum pengurangan dua tahun, menunjukkan adanya kekuatiran dan ketakutan besar kelompok rezim yang sedang berkuasa saat ini dengan terus mengintimidasinya dengan propaganda-propaganda yang bersifat Islam phobiaisme: Islam intoleran, radikal dan terorisme.
Mondialisme Islam
Sesungguhnya, saat ini propaganda-propaganda Islamofobia itu sudah basi, tak bernilai, dan kehilangan kontekstualnya —yang tengah dan telah banyak diakui dan disadari oleh banyak negara, baik AS maupun di Eropa sendiri.
Seperti ditunjukkan oleh HRS denga semangat ghirahnya “Revolusi Putih” itu, dunia Islam kepada Islam dunia kini itu mencerahkan, Islam itu membawa ke perubahan menuju harapan baru, bahkan Islam itu satu-satunya alternatif solusi ketika ideologi lain tengah dihadapkan jalan buntu menengarai problematika dikotomi perseteruan antara kapitalisme dan komunisme yang ternyata “bermuka dan bertabiat sama” dalam pacuan keserakahan dan kerakusan berebut penguasaan ekonomi dunia.
Justru, hanya Islamlah yang selalu membawa dan melekatkan kesetaraan dan keadilan sampai kapan pun, di mana pun dan untuk apa pun. Kenapa?
Dikarenakan itu hanya satu alasan, adalah suatu syariat, kewajiban ibadah dalam naungan ruang semesta sebesar-besarnya atas kekuasaan Allah SWT, termaktublah di Al-Qur’an “rahmatan lil alamin”, Islam berada dan bertindak untuk kesejahteraan umat manusia bersama di dunia maupun di akhirat kelak.
Sedangkan, untuk kepentingan umat Islam di Indonesia, semangat dan ghirah “Revolusi Putih”, sesungguhnya telah ada dan tertulis dalam sejarah penting semasa mencapai puncaknya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, telah mewujud menjadi dasar negara, yaitu lahirnya Pancasila. Setelah para tokoh politik Islam pejuang kemerdekaan (KH. Ahmad Dahlan, KH Agus Salim, KH Hasyim Azhari, KH. Wahid Hasyim, M. Natsir, Sutan Sjahrir, Moh. Yamin, dll), ribuan Ulama, ribuan Kiai pemimpin pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia telah bersepakat dengan tulus dan iklas menjadikan Piagam Jakarta, dengan menghapus sila “…. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Namun, akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila yang asli, murni, geniun dan sakti.