SUARA PEMBACA

Jokowi Ingin Kemiskinan Ekstrem Nol Persen, Mimpi!

Presiden Jokowi menargetkan 0 persen angka kemiskinan di tahun 2024 (rmol.id, 07/03/2020). Target ini menjadi sorotan tersebab ekonomi Indonesia yang stagnan, lemah dan terpuruk. Beriringan dengan kondisi ekonomi global yang mengalami hal sulit.

Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah untuk mewujudkan target tersebut adalah dengan membuat RUU Omnibus Law. RUU CiKa (Cipta Kerja) diharapkan bisa menciptakan dan menyerap tenaga kerja. Ketika rakyat memiliki pekerjaan maka akan terbebas dari kemiskinan. Benarkah demikian?

RUU CiKa diprotes sana sini oleh rakyat. Ditolak oleh berbagai kalangan. Hanya dua kelompok yang mendukung yaitu penguasa dan pengusaha. Dan memang benar, RUU Omnibus Law telah mengamankan posisi pengusaha tanpa mempedulikan nasib buruh.

Tahun 2024 memang masih empat tahun lagi. Namun rasanya, waktu empat tahun tersebut takkan cukup mewujudkan target tersebut. Apalagi jika mengingat “prestasi” yang membelit negeri ini.

Bank Dunia merilis data bahwa 115 juta rakyat Indonesia rawan kembali miskin (kompas.com, 30/01/2020). Artinya, hampir separo dari jumlah penduduk Indonesia yang 267 juta jiwa. Bukan hal mudah untuk tetiba menjadikan yang separo ini keluar dari kemiskinan dalam waktu empat tahun.

Kemustahilan itu bertambah lagi ketika kita mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Lembaga Pemeringkat Moody’s Investor Service memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan melambat hanya 4,8% terhadap Produk Domestik Bruto (tirto.id, 09/02/2020). Dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, jelas akan menghasilkan banyak pengangguran.

Hutang negara yang mencapai Rp5.538 triliun (kompas.com, 17/02/2020). Ditambah dengan korupsi yang menggurita. Membuat negara kalap untuk menambah pemasukan. Parahnya, hanya bertumpu pada pajak dan cukai. Akhirnya, apapun dipajakin, dan yang sudah kena pajak justru dinaikkan. Ini akan memukul rakyat. Dan banyak perusahaan yang mengurangi produksi. Otomatis akan mengurangi tenaga kerja, pengangguran pun bertambah.

Wajar jika banyak pihak yang menyangsikan tercapainya zero persen angka kemiskinan. Sebenarnya, bukan masalah waktu untuk menjadikan kemiskinan di angka nol. Hal tersebut bisa dicapai dengan beberapa catatan.

Pertama, tau akar masalah kemiskinan. Kedua, mencari solusinya. Ketiga, punya komitmen untuk menerapkan solusi.

Pertama, tau akar masalah kemiskinan. Membongkar pohon kemiskinan hingga ke akarnya, akan kita dapati bahwa kemiskinan ini adalah persoalan sistemik. Bukan persoalan individu. Terlihat dari betapa kerasnya kerja seorang individu namun tetap tak mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sistem kapitalisme yang diadopsi semua negeri di dunia ini telah meniscayakan kemiskinan dan menihilkan pemerataan kesejahteraan. Asas sekulerismenya, memisahkan agama dengan kehidupan, memberikan kebebasan setiap individu untuk bebas melakukan apapun. Termasuk kebebasan kepemilikan. Selama memiliki modal, silakan beli dan miliki apapun.

Dengan kebebasan kepemilikan, sektor publik dimiliki dan dikelola oleh swasta individu ataupun korporasi. Negara pun bisa melepaskan tanggung jawab dalam mengurusi rakyatnya. Keberadaan negara hanya untuk membuat regulasi yang memuluskan jalan bagi investor menguasai hajat hidup orang banyak.

Kesehatan, pendidikan dan energi yang vital bagi kehidupan masyarakat, Dan sudah logis jika dikelola swasta maka ada biaya lebih besar yang harus dikeluarkan rakyat. pengurusannya diserahkan kepada pihak ketiga. Jika pun dikelola negara, tetap tidak gratis dan pelayanannya tak manusiawi. Ini yang menguras banyak dana pribadi rakyat.

Jika sistem kapitalisme yang menguntungkan pengusaha dan penguasa ini terus bercokol, maka menzerokan angka kemiskinan adalah hal yang utopis.

Kedua, apa solusinya? Jelas, formula zero persen angka kemiskinan adalah dengan mencabut sistem kapitalisme. Cabut dan ganti dengan sistem Islam Kaaffah.

Berpondasi akidah Islam, sistem ekonomi Islam mewajibkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga untuk mencari nafkah. Negara bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan manusiawi.

Tugas kepala rumah tangga diringankan dengan pengurusan publik oleh pemerintah. Fasilitas pendidikan, kesehatan dan energi akan disediakan secara gratis oleh negara. Dananya dari pengelolaan SDA dengan penuh amanah dan tanggung jawab oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.

Tiga konsep kepemilikan, dimana kepemilikan umum, seperti SDA, takkan diserahkan kepada individu ataupun korporasi. Kepemilikan negara, diambil dari fa’i, jizyah, khums. Dipergunakan untuk membiayai jalannya pemerintahan, seperti menggaji aparatur negara dan pembangunan kantor pemerintahan. Adapun kepemilikan individu, adalah harta yang diperoleh individu melalui bekerja, waris, dan hadiah.

Dengan sistem ekonomi islam itu, distribusi kekayaan akan merata ke seluruh individu masyarakat. Indikator pemenuhan kebutuhan rakyat adalah per individu, bukan kolektif.

Berstandar akidah, rakyat disibukkan dengan perlombaan amal sholeh. Takkan ada perlombaan menumpuk harta dan bermegah-megahan. Masyarakat sibuk amar ma’ruf nahiy munkar dan muhasabah ke penguasa. Memastikan penerapan syariat Islam kaffah berjalan dengan baik oleh penguasa.

Penerapan syariat Islam kaffah inilah yang memastikan keberkahan hidup bagi seluruh penduduk negeri. Dan akhirnya, formula zero persen angka kemiskinan akan terpecahkan.

Ketiga, apa komitmen kita terhadap solusi? Penerapan syariat Islam kaaffah bukan sekedar untuk menzerokan angka kemiskinan. Namun lebih dari itu, ia adalah konsekuensi dari keimanan kita.

Sehingga, diperlukan komitmen bersama untuk bersungguh-sungguh berjuang. Dalam rangka mengejawantahkan sistem Islam kaffah. Maka, kebahagiaan dunia akhirat akan kita reguk, sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 96. Wallahu a’lam []

Mahrita Julia Hapsari
Praktisi Pendidikan

Artikel Terkait

Back to top button