Jokowi “Merem”, DPR “Mingkem”
Tentu saja peristiwa ini menggegerkan publik dan media sosial. Tidak saja menjadi trending topic, bahkan sempat menjadi tragedi berita sensasional “beresonansi politik yang paling berisik” di tanah air.
Informasi opini dan perbincangan politik publik pun menjadi liar di media sosial. Jika opini publik di medsos mayoritas sudah menebak-nebak, insting politik di atas 80% mengarah ke hal-hal negatif.
Itu terbukti benar!: Pertanyaan bukannya menjurus “Ada apa dengan Moeldoko?”Malah, banyak dan lebih bising dengan pertanyaan, “Ada apa dengan Presiden Jokowi?”
Hanya ada dua stereotipe tebakan politik yang membuat justru Presiden Jokowi semakin diperolok-olok, semakin bertambah kekonyolannnya:
Pertama, Presidenlah yang kemudian menjadi tertuduh bin “King Maker” alias dalang dalam lakon wayang permainan politik Moeldoko.
Yang kedua, tuduhan yang lain dilontarkan ke Jokowi boleh jadi tujuannya tengah mencoba menyasar timbulnya kegaduhan dengan Megawati di PDIP.
Jokowi seperti sedang memasang alat resonansi penanda pendulum tsunami. Bermaksud, membuat turbulensi gempa di PDIP berpotensi tsunami, tombol pemicunya dengan menggunakan kisruh di PD.
Alih-alih AHY selaku Ketum Partai Demokrat legal melakukan perlawanan melalui jalur hukum, Kemenkumham meratifikasi pernyataan Pemerintah bahwa hanya ada Partai Demokrat Ketum AHY yang diakui resmi. Kemudian, sekaligus menolak mentah-mentah PTUN yang diajukan kelompok Moeldoko.
Yang pasti Moeldoko inskontitusional menjadi Ketum PD tandingan dan sempalan. Selanjutnya, entah apa yang akan dikenakan sanksi hukum kepadanya, tidak jelas hingga kini.
Tapi apa yang lebih mengherankan, justru Presiden Jokowi yang sudah babak belur di-bully seperti itu, tetap saja “merem”. Seolah bergeming, Moeldoko masih tetap saja eksis menjadi Kepala Staf Kepresidenan hingga kini.