Jokowi “Merem”, DPR “Mingkem”

Orang tidur pasti merem, tidak sadar. Tetapi “merem”-nya Jokowi tidak tidur, dalam kondisi sadar. Namun, seolah “ tak menyadarkan diri” dengan apa yang sedang terjadi. Mendingan tidur merem-merem ayam untuk menganalogikan cara tidur ayam yang masih membuat orang sewaktu-waktu bisa tersadar, terjaga. Apalagi sudah lewat malam menjelang fajar: ayam sendiri saja langsung berkokok menandai perubahan hari. Lah kesengajaan meremnya Jokowi sungguh membuat kita jadi geleng-geleng kepala. Seorang Presiden yang dengan segala kekuatan kewenangannya, tertuang dalam hak-hak prerogatifnya, malah tak berbuat apa-apa dengan “kesalahan-kesalahan” orang-orang terdekat di sekelilingnya, baik di staf Istana Kepresidenan maupun di kabinetnya. Aksi Moeldoko Yang jelas yang seharusnya menohok mata hati kesadaran Jokowi, adalah peristiwa apa yang dilakukan oleh Moeldoko beberapa bulan lalu. Masih melekat di benak ingatan kita, sebagai Kepala Staf Kepresidenan, orang yang sudah pasti paling dekat di Istana dengan Presiden, malah melakukan tindakan inkonstitusional. Sungguh-sungguh tindakannya secara langsung, secara kasat mata sudah mencoreng mempermalukan wajah lembaga Kepresidenan sendiri. Bak tim buru sergap, Moeldoko beserta tim pengusungnya yang dianggap orang-orang pendiri partai Demokrat, tapi termarjinalkan, tiba-tiba melakukan manuver politik dengan melakukan Munaslub Partai Demokrat tandingan di Deli Serdang. Sekaligus, mendeklarasikan dirinya seolah satu-satunya orang yang paling sah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Tentu saja peristiwa ini menggegerkan publik dan media sosial. Tidak saja menjadi trending topic, bahkan sempat menjadi tragedi berita sensasional “beresonansi politik yang paling berisik” di tanah air. Informasi opini dan perbincangan politik publik pun menjadi liar di media sosial. Jika opini publik di medsos mayoritas sudah menebak-nebak, insting politik di atas 80% mengarah ke hal-hal negatif. Itu terbukti benar!: Pertanyaan bukannya menjurus “Ada apa dengan Moeldoko?”Malah, banyak dan lebih bising dengan pertanyaan, “Ada apa dengan Presiden Jokowi?” Hanya ada dua stereotipe tebakan politik yang membuat justru Presiden Jokowi semakin diperolok-olok, semakin bertambah kekonyolannnya: Pertama, Presidenlah yang kemudian menjadi tertuduh bin “King Maker” alias dalang dalam lakon wayang permainan politik Moeldoko. Yang kedua, tuduhan yang lain dilontarkan ke Jokowi boleh jadi tujuannya tengah mencoba menyasar timbulnya kegaduhan dengan Megawati di PDIP. Jokowi seperti sedang memasang alat resonansi penanda pendulum tsunami. Bermaksud, membuat turbulensi gempa di PDIP berpotensi tsunami, tombol pemicunya dengan menggunakan kisruh di PD. Alih-alih AHY selaku Ketum Partai Demokrat legal melakukan perlawanan melalui jalur hukum, Kemenkumham meratifikasi pernyataan Pemerintah bahwa hanya ada Partai Demokrat Ketum AHY yang diakui resmi. Kemudian, sekaligus menolak mentah-mentah PTUN yang diajukan kelompok Moeldoko. Yang pasti Moeldoko inskontitusional menjadi Ketum PD tandingan dan sempalan. Selanjutnya, entah apa yang akan dikenakan sanksi hukum kepadanya, tidak jelas hingga kini. Tapi apa yang lebih mengherankan, justru Presiden Jokowi yang sudah babak belur di-bully seperti itu, tetap saja “merem”. Seolah bergeming, Moeldoko masih tetap saja eksis menjadi Kepala Staf Kepresidenan hingga kini. Ternyata, peristiwa ini pun tak mampu secuil memperbaiki kinerja staf kepresidenan di Istana secara keseluruhan. Salah satunya, paling tidak melakukan refungsionalisasi jika tidak disfungsionaliasi. Terutama, apa sih sesungguhnyaperan kinerja para staf ahli khusus dan staf ahli khusus utama diadakan? Padahal, yang satu sudah bergaji “gila” hanya menghambur-hamburkan uang negara. Yang lain “gila” jabatan profesi Juru Bicara jadi corong Istana. Padahal, selama ini apa pendapat dan komentarnya hanya dan selalu membuat gaduh, berisik dan non solutif di khalayak publik. Selama ini pun ntah apakah eksistensi para staf kepresidenan terangkai atau tidak dengan para pendengung "buzzeRp" yang di khalayak publik pendapatnya hanya bermuara semakin mempermalukan pemerintahan Presiden Jokowi saja. Tetapi, sekali lagi Presiden Jokowi tetap saja “merem”. Aksi Para Menteri di Kabinet Hal yang lebih memilukan dan memalukan lagi justru melihat realitas perilaku dan kinerja para menteri di kabinetnya. Tidak saja telah mengusik martabat, kehormatan dan kewibawaan Presiden, bahkan lebih jauh telah merusak marwah Presiden. Diawali baru saja menandai kabinet koalisi tampaknya Jokowi akan semakin berjaya, semakin gemuk, semakin perkasa dengan bergabung dan diangkatnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dari Gerindra sebagai menteri di kabinet. Ternyata, siapa nyana kalau musibah itu terjadi: apakah ini sinyal pertanda hukum karma? Edy Prabowo dan Juliari Batubara tersandung korupsi. Korupsi kedua menteri itu tidak saja disebut sebagai sungguh kejahatan yang tiada tara, bahkan justru sangat menyakitkan perasaan dan memilukan hati lapisan masyarakat bawah dan miskin. Yang satu, terkait dengan budi daya benih benur lobster sebagai bagian terbesar mata pencaharian para petani nelayan kecil yang seharusnya negara ini melindungi dengan upaya merevitalisasinya. Justru, hanya untuk memenuhi nafsu egoisme materialistis seseorang, dampak masif korupsi itu telah merusak dan mematikan tatanan tata niaga benur lobster para petani nelayan kecil benih benur lobster di dalam negeri. Yang lain, korupsinya justru sangat mengerikan, barangkali hanya iblis yang bisa melakukannya karena tanpa rasa perikemanusiaan. Di tengah-tengah bencana pandemi Covid-19 sebagai bencana kemanusiaan yang telah memporak-porandakan perekononomian kita dan sangat berdampak menutup habis mata pencaharian akibat upaya isolasi PPKM , bantuan untuk survival mempertahankan hidup masyarakat bawah dan miskin itu justru dikorupsi. Tapi seperti yang sudah diduga, putusan proses peradilan hukum terhadap korupsi itu, sungguh sangat mengecewakan publik. Hukumannya tak setara dengan kejahatannya: kamar prodeo bagi mereka hanya sebagai tempat peristirahatan sementara yang pasti takkan berlangsung lama. Dan sampai saat ini pun derita rakyat karena pandemi Covid-19 ini belum berakhir, meski wabah endemik penyakit Covid-19 semakin kian menurun, tapi bisnis ikutan yang menyertainya, justru tak pernah semakin menurun. Ternyata, keterlibatan siapa pelakunya? Tak lain tak bukan, disinyalir oleh para menteri yang justru diberi wewenang oleh Presiden untuk menangani pandemi Covid-19 ini dari kebijakan hingga keputusan. Saking tidak ada pembatasan kewenangan tersebut, membuka ada peluang kesempatan mereka berkepentingan untuk melakukan konspirasi dengan korporasi-korporasi penyedia dan pengada swab anti gen tes dan PCR. Jika Dr. Rizal Ramli menyebutnya dengan istilah Peng-Peng, siapa lagi kalau bukan LBP dan ET. Bisa dibayangkan, kedua menteri ini mendapatkan madu manis di tengah-tengah pahit getir rakyat yang tengah menderita menghadapi Covid-19. Bukannya mempermurah mekanisme penentuan harga terhadap penggunaan Test Swab Anti Gen dan PCR sebagai rumus wajib , tidak saja bagi yang sakit, tetapi juga bagi yang sehat. Merekalah yang mengatur kebijakan dari harganya hingga kepentingan pengaturan dalam penggunaannya: terkait aturan karantina, persyaratan perjalanan, aturan persyaratan kerja, hingga aturan-aturan yang menyangkut persyaratan kependudukan dan transportasi adalah hal wajib test swab anti gen dan PCR. Betapa berapa banyak kepeng keuntungan diraih yang boleh jadi hingga ratusan triliun? Di saat yang lain, kemudian LBP dan AH pun teridentifikasi sebagai orang-orang pesohor penguasa jabatan negeri yang termasuk mendirikan perusahaan cangkang di negara yang memberi suaka pajak. Laporan Pandora Papers, sebagai institusi investigasi internasional terpercaya, perusahaan cangkang itu bisa digunakan di negara pemberi suaka pajak melakukan erosion base dan profit shifting yang dapat mengurangi penerimaaan negara dari sektor pajak. Nah lho?! Hal yang sangat ironis di tengah-tengah Jokowi menekankan perlunya menggalakkan penerimaan negara dari sektor pajak yang justru sedang “nyungsep”. Sampai-sampai menteri keuangan SMI jadi sempat keblinger memikirkannya sumber-sumber mana lagi membuka kran pendapatan pajak: malah menyasar ke kepentingan bahan-bahan sembako, pendidikan dan kesehatan, yang menjadi basic need rakyat. Yang justru sebaliknya harus diproteksi dengan subsidi oleh negara! Maka, semakin benarlah, semakin menjadi keniscayaan, sebagaimana dilansir oleh artikel yang ditulis oleh Ubedilah Badrun: “Tujuh Tahun Jokowi: New Kleptocracy” . Intisari yang diambil dari hasil riset Prof. Edward Aspinalll dan Prof. Marcus Mietzner dari Australian National University yang khusus mengkaji perpekstif demokrasi selama Pemerintahan Jokowi: ternyata korupsi dalam nasionalisme kredolah yang menjadi faktor penyebab terpilinnya regresi demokrasi. Ironis memang itu terjadi di negara Republik, Pemerintahan Sipil, tapi demokrasi dan demokratisasi menjadi titik terendah di dalam pemerintahan Jokowi: penyebabnya “new kleptocracy” alias merajalelanya para koruptor di negeri para bedebah, negeri para maling, negeri para pembancak. Selain politisi dan para menteri koruptif bancakan APBN. Ada juga Peng-peng, ini yang paling bahaya karena kerakusan dan keserakahannya luar biasa, juga tanpa batas. Tapi apa yang hendak di kata, meski signal sudah memberikan tanda merah di pemerintahannya, Jokowi tetap saja “merem”. Sementara DPR, sebagai lembaga legislasi yang sekaligus seharusnya turut aktif mengawasi ternyata juga tak bersuara, “mingkem” ntah karena apa: apa karena sudah keenakan dan terlena dininabobokan fasilitas-fasilitasnya duduk di kursinya? Sungguh! NKRI ini negara yang sudah didirikan dengan cucuran darah, jutaan nyawa para pahlawan pun telah melayang adalah negara hukum formal. Namun, seolah seperti selalu dibuat candaan. Seperti lansiran narasi parodi berujar: NKRI itu kini negara dagelan!! Akhirnya, buat Jokowi pun pantas diberi dagelan: ketika dia tertidur merem dan betul-betul tidak sadar, kemudian ketika dia melek dan sadar terjaga, jangan salahkan siapa-siapa kalau dia sudah tidak di Istana Kepresidenan lagi. Itulah sesungguhnya keinginan dan jawaban atas harapan dan pertanyaan derita rakyat, jika sudah tak mampu memimpin legowo mundurlah, karena pendampingnya pun, DPR, ternyata terlenakan pula karena kepemimpinannya. Karena hanya rakyat sejatilah yang hanya bisa melihat secara jujur kelemahan dan kekisruhan kepemimpinan Jokowi ini! Wallahu a'lam bisshawab. Dairy Sudarman, Pemerhati politik.

SHARE:

Artikel Terkait

Prabowo dan Jokowi Sama Saja?

Bu Mega PDIP Bertanggung Jawab Penuh untuk Hentikan Jokowi

Indonesia ‘No Jokowi’

Politik Panas Dimulai