Kalau Saja Prabowo tidak Berbaik Hati Mungkin Demokrat…
Kembali ke K-4, saat Demokrat akhirnya muncul juga, banyak spekulasi bermunculan. Satu di antaranya : Jika surat itu ditampik, apa yang akan terjadi? Demokrat akan kehilangan kesempatan 2024, begitu kata UU pemilu.
Menurut Pasal 235 ayat 5, UU Pemilu berbunyi: dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.
Baik Hati
Ternyata harapan banyak orang tidak terkabul. Selepas kedatangan Sekjen Demokrat, Prabowo justru keluar ruangan sambil berujar singkat: “Alhamdulillah akhirnya Demokrat menyatakan dukungan!”
Banyak yang menyambutnya dengan takbir, tapi tidak sedikit yang agak kecewa. “Mestinya jangan diterima biar mereka tahu,” gumam mereka yang kecewa.
Dengan posisi itu, Demokrat selamat. SBY bisa mencalonkan putranya sebagai presiden pada tahun 2024. Tentu tidak bisa sendirian, Demokrat karena suara demokrat tak cukup, jadi harus tetap berkoalisi.
Seandainya malam itu Prabowo menolaknya, maka Demokrat sungguh-sungguh menjadi partai yang malang. Beruntung Prabowo berbaik hati. “Itulah kelebihan sekaligus kekurangan beliau!” kata Mayjen (purn) Glenny Kairupan, sahabat saya sejak di Inkai tahun 1980-an.
Prabowo seperti melupakan ucapan nyinyir wasekjen Demokrat, Andi Arief, soal jendral kardus.
Bahkan Prabowo juga melupakan kisah pilu pilpres 2014. Konon saat itu Prabowo-Hata memenangkan pertarungan dan konon pula SBY sebagai presiden punya datanya -meski SBY sendiri telah membantahnya berkali-kali – yang menyatakan kemenangan itu.
Tidak etis
Lepas dari semua itu, langkah AHY menemui Jokowi dan datang dalam undangan kepala daerah di Bogor baru-baru ini, sungguh seperti mengabaikan kebaikan hati Prabowo.
Diundang atau datang sendiri, ke Istana Negara dan ke Istana Bogor, sungguh tidak etis. Apa pun alasannya, untuk mendinginkankah atau apa pun, sekali lagi kurang tepat.