KAMMI Tolak RUU P-KS
Jakarta (SI Online) – Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) menolak Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Dengan alasan sarat dengan nilai liberalisme yang mengabaikan Pancasila, ketahanan keluarga, agama dan moralitas bangsa Indonesia. Pandangan KAMMI setidak-tidaknya diturunkan dalam beberapa poin-poin.
Pertama, RUU P-KS dengan sengaja mengabaikan falsafah Pancasila dan UUD N RI 1945 seraya mengambil falsafah feminisme. Sehingga RUU P-KS, di bawah term “Kekerasan Seksual” mengandung kekeliruan yang sangat fatal dalam merumuskan “siapa korban dalam pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan”.
“Pelacur sebagai ‘korban’ kekerasan seksual adalah ‘pelaku’ kejahatan seksual karena menyuburkan zina di tengah-tengah masyarakat,” demikian rilisnya, Selasa (27/8/2019).
Selanjutnya, KAMMI berpandangan bahwa pezina sebagai “korban” kekerasan seksual adalah “pelaku” kejahatan seksual karena merusak tatanan kekeluargaan. Pelaku penyimpangan seksual sebagai “korban” kekerasan seksual adalah “pelaku” kejahatan seksual yang menjadi penyakit masyarakat.
“RUU P-KS mengabaikan konteks di mana seseorang dapat saja merupakan pelaku kenakalan atau kejahatan seksual sebelum menjadi korban.” Seharusnya pemberantasan terhadap pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan dalam masyarakat mempertimbangkan akar dari adanya kekerasan seksual yaitu kebobrokan moral dan rentannya ketahanan keluarga.
Hal ini karena RUU P-KS tidak memuat agama dan moral sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 J UUD N RI 1945 sebagai asas penegakan hukum sehingga konsep pemidanaannya hanya bertumpu pada kejadian akhir dari suatu situasi kejahatan pada nilai kesusilaan di dalam masyarakat. Pengabaian ini pada kelanjutannya merupakan upaya untuk menancapkan pemahaman feminisme yang tidak sesuai dengan Pancasila, sebagaimana tergambarkan dalam Naskah Akademik-nya.
“Selanjutnya Naskah Akademik RUU P-KS tidak menginginkan adanya penerapan kausalitas hukum dalam proses penyidikan. Ini merupakan penerapan dari paham permisif yang mendobrak penemuan fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.”
Dalam kasus pemaksaan aborsi misalnya, penentuan bahwa seseorang melakukan aborsi karena pemaksaan seseorang, dimungkinkan hanya berbasis keterangan satu sisi pelaku aborsi. Hal ini sangat mungkin menjadi alat bagi pelaku aborsi untuk menghindari jeratan hukum berdasarkan UU tentang Kesehatan.
red: adhila