Kapitalisme, Akar Masalah Ketidakadilan di Bumi Papua
Benny Wenda, salah satu tokoh Papua Merdeka dihadapan The Guardian mengatakan pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan sipil yang terjadi saat ini (di Papua) adalah “kanker di dalam hati orang-orang Pasifik”. Ungkapan Benny Wenda tersebut disampaikan menjelang pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu, pada 13-16 Agustus 2019. Di mana salah satu agendanya mengangkat isu HAM dan Papua Merdeka.
Benny Wenda dikabarkan akan menggunakan forum itu untuk mendesak PBB menggelar referendum kemerdekaan Papua. Diketahui Vanuatu, salah satu negeri di Kepulauan Pasifik mengikutsertakan Wenda menjadi salah satu peserta dalam forum tersebut. Langkah Vanuatu yang kemudian membuat Indonesia berang. (abc.net.au, 12/8/2019).
Tak berselang lama sejak pernyataan Benny Wenda tersebut. Muncul kerusuhan di asrama Mahasiswa Papua, Jalan Kalasan No.10, Surabaya, Jawa Timur pada Jumat sore, 16/8/2019. Berkembang isu bahwa rusuh di Surabaya bermuatan rasis karena beredar viral video oknum yang berteriak “Mahasiswa Papua monyet” di dunia maya.
Peristiwa tersebut kemudian berimbas timbulnya kerusuhan di Manokwari yang berujung pada pembakaran kantor DPRD dan bendera Merah Putih pada Senin, 19/8/2019. Kerusuhan ini pun merembet hingga ke Kota Sorong, Papua Barat. Massa aksi mencoba merusak sejumlah fasilitas umum di sepanjang ruas jalan Kota Sorong. Bahkan Lapas Sorong dan Bandara Domine Eduard Osok Sorong tidak luput dari sasaran amuk massa. (tempo.co, 20/8/2019).
Rentetan peristiwa tersebut seolah berurutan dan saling berkaitan. Tampak nuansa pengkondisian agar upaya proses internasionalisasi isu HAM dan Papua Merdeka mencapai suksesi. Momentum Papua Merdeka yang terus ditunggu dengan skenario pelanggaran HAM dan ketidakadilan rakyat Papua yang telah lama didukung oleh kekuatan dan kepentingan para kapitalis asing.
Menjadi rahasia publik, di tengah kekayaan tanah Papua yang berlimpah, menyimpan sejuta cerita penuh nestapa. Menolak lupa rentetan kasus campak dan gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Asmat pada akhir tahun 2017. Beberapa tragedi kemanusiaan terbesar pun pernah menimpa Papua.
Diungkapkan mantan anggota KOMNAS HAM, Natalius Pigai, tragedi kemanusiaan di Papua dimulai dari kasus Paniai, 8 Desember 2014 yang tidak kunjung jelas. Dimana adanya penangkapan, penahanan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap lebih dari enam ribu orang Papua. Tragedi terus berlanjut dengan rentetan kematian bayi di Papua yang terjadi sepanjang tahun 2015 hingga 2017 yang disebabkan penyakit busung lapar dan kurang gizi. Di mana saat itu kematian 71 bayi di Kecamatan Mbuwa dan kematian 60 bayi di Kabupaten Deiyai masih meninggalkan misteri. (portalnegeri.com, 24/1/2018).
Penderitaan rakyat Papua seolah tak kunjung padam. Kesenjangan sosial, pendidikan dan kesehatan menjadi problematika serius yang menimbulkan kecemburuan sosial dan ketidakadilan di tengah isu diskriminasi yang sensitif. Sementara di satu sisi, negara seolah melepas fungsi dan perannya, dengan terus melanggengkan perampokan sumber daya alam Papua yang dilakukan oleh para kapitalis asing.