Kartini, Menentang Bid’ah dan Khurafat
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi yaitu Hamba Allah”. (Surat Kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri- 1 Agustus 1903).
Seperti Surat Dakwah
Sejatinya surat sebagai media penyampaian wawasan dan gagasan, bahkan sebagai surat dakwah, telah dilakukan oleh Nabi Saw yang merupakan salah satu bentuk siasat memperluas jaringan dakwah Islamiyah ke berbagai negeri.
Pada suatu ketika, setelah Nabi Saw mengadakan perjanjian dengan kaum Quraisy yang terkenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, beliau ingin membangkitkan semangat dakwah para sahabat yang merasa kecewa terhadap isi perjanjian. Beliau mengumpulkan para sahabat dan menyatakan akan mengirim utusan untuk menyampaikan surat dakwah kepada para pembesar di luar negeri. Beliau yakin bahwa Islam sebagai Rahmatan Lil ’Alamin dapat diterima oleh berbagai bangsa di berbagai negeri, yang notabena sama-sama keturunan Adam dan Hawwa.
Generasi awal pemeluk Islam seperti Siti Khadijah binti Khuwailid dari kalangan perempuan, Abu Bakar ibn Quhafah dari kalangan Quraisy, Bilal bin Rabah dari Afrika, Salman al-Farisi dari Persia dan Suhaib ar-Rumi dari Romawi, Ali ibn Abi Thalib dari kalangan remaja, sudah mencerminkan berbagai lapisan dan keberagaman etnis. Para sahabat siap menerima tugas mulia tersebut.
Maka diutuslah para sahabat dengan kelompoknya masing-masing seperti sahabat Dihyah bin Khalifah al-Kalbi untuk menyampaikan surat dakwah kepada Kaisar Romawi Timur, sahabat Abdullah bin Huzaifah as-Sahmi diutus kepada Kisra Abrawaiz, Raja Persia, sahabat Amr bin Umayyah adh-Dhamri ke Najasyi menyampaikan surat dakwah kepada Raja Habsyi, sahabat Hathib bin Abi Balta’ah al-Lakhmi ke Qibthi menyampaikan surat dakwah kepada Muqauqis Gubernur Mesir. Dan beberapa surat dakwah kepada para pembesar negeri lainnya.
Kartini pun mempergunakan media surat menyurat untuk menyalurkan wawasan dan gagasannya termasuk keluhan-keluhannya. Ia bersyukur ada yang mau menampung surat-suratnya, terutama Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan suaminya. Kartini menulis 95 surat kepada Ny. Abendanon, 8 surat kepada suaminya, dan lima surat kepada mereka berdua. Surat-surat itu aslinya dalam bahasa Belanda dikumpulkan dan diterbitkan oleh J.H. Abendanon pada tahun 1911 dengan judul “Door Duisternis Tot Licht.”
Begitu luasnya sambutan terhadap gagasan-gagasan Kartini sehingga kumpulan surat-suratnya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Inggris, Prancis, Jepang dan Arab, termasuk bahasa Jawa dan Sunda. Edisi bahasa Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” pertama kali terbit pada tahun 1922 kemudian oleh Armijn Pane terbit pada tahun 1938. Sulastin Sutrisno dengan judul Kartni surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan suaminya Penerbit Djambatan cetakan pertama 1989 memuat 150 surat-surat, Kartini Sebuah Biografi oleh Sitisoemandari Soeroto Penerbit Gunung Agung Jakarta 1977, dll.
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari kumpulan surat-suratnya antara lain tentang kerukunan antar umat beragama sebagai salah satu pilar persatuan Indonesia. Judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” terinspirasi dari penggalan ayat-ayat Suci Qur’an antara lain “Allahu Waliyul Ladzina `Amanu Yukhrijuhum Minazh Zhulumati Ilan Nur“ (Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (keimanan).
Menentang Bid’ah dan Khurafat