Kartini, Menentang Bid’ah dan Khurafat
Semua anggota keluarganya sangat prihatin begitu juga sahabat-sahabatnya, “kuda liar yang resah melonjak-lonjak dalam kegelapan” sedang mencari identitasnya dan sedang mencari Tuhan-nya. Tetapi mereka semua tahu bahwa Kartini adalah seorang putri yang cerdas yang tahu apa yang terbaik baginya.
Kartini sendiri beranggapan bahwa kebebasan yang didambakan oleh setiap orang adalah kebebasan yang semu, bukan kebebasan yang sebenarnya. “Manusia itu fana! … Jangan mengharapkan pertolongan dari manusia-manusia … mencari kekuatan dalam diri manusia … Sejarah tahun kehidupan kami yang terakhir mengajarkan, betapa sesatnya kami. Kami sangat berterima kasih kepada Nelly, bahwa ia telah menunjukkan kepada kami jalan ke arah kebebasan sejati. Tidak ada manusia bebas seorang pun, yang mengikatkan diri kepada beberapa manusia. Menyandarkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah dan jalan ke arah kebebasan sejati hanyalah satu. Siapa yang sesungguhnya Mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun, ia sebenarnya bebas”. (Surat kepada Ny. M.C.E. Ovink-Soer, Oktober 1902).
“Untuk apa kami berpusing-pusing dengan manusia, sedangkan kami tahu, bahwa kami dilindungi Tuhan! Yang kami kerjakan ini adalah pekerjaan-Nya. Dia akan mengaruniai kami tenaga untuk melakukan pekerjaan itu”, katanya kepada Tuan E.C. Abendanon, 17 Agustus 1902. Dan untuk itu ia berhak menggunakan gelar tertinggi yang didambakannya yaitu Hamba Allah. Bagian inilah yang disebut oleh H.O.S.Tjokroaminoto, Guru Bangsa, Raja Jawa tanpa Mahkota, penggerak kebangkitan bangsa sebagai Kemerdekaan yang Sejati yang menjadi azas keenam dari Program Asas Syarikat Islam.
Masyarakat kita yang bersahaja, sangat memprihatinkan Kartini. Apabila ada orang “besar” yang dianggap luar biasa, maka mulailah untuk mengkultus-individukannya, dianggap keramat, mempunyai kekuatan gaib, sakti, punya jimat, mendapat berkah, dsb. yang akibatnya justru akan mengotori bahkan akan merusak kesucian iman mereka sendiri. Kartini berusaha menyadarkan masyarakatnya dari kekeliruan besar seperti itu.
Dalam suratnya, Kartini mengungkapkan suatu peristiwa kebakaran di mana terjadi keajaiban, sebelas rumah habis terbakar. Tetapi ada sebuah rumah di sekitarnya yang terhindar dari malapetaka itu. Seluruh warga desa keluar untuk menyaksikan keajaiban itu. Mereka menanyakan pula kepada pemilik rumah yang beruntung yang terhindar dari bahaya kebakaran, ilmu (jimat), atau senjata sakti apa yang dimilikinya. “Tidak, ia tidak mempunyai ilmu, tidak mempunyai jimat, tidak pula senjata sakti. Ia hanya mempunyai Gusti Allah saja dan Dia telah melindungi rumahnya untuknya dan keluarganya”, demikian Kartini memperingatkan. Sehari setelah kebakaran itu, yang punya rumah datang ke rumah Kartini mengucapkan terima kasih atas keselamatan rumahnya. Berkatnyalah rumah itu terhindar dari bahaya kebakaran. Begitu anggapan yang punya rumah.
Satu peristiwa lagi ketika terjadi kemarau panjang. Masyarakat berduyun-duyun pergi ke lapangan untuk mengikuti shalat istisqa. Tetapi hujan belum juga turun. Kemudian diadakan lagi dan Kartini ikut serta. Setelah itu hujan pun turun dengan derasnya. Apa komentar masyarakat. Terkabulnya doa itu karena Kartini ikut serta. Tak ayal lagi, Kartini-lah yang membawa berkah. “Bid’ah dan Khurafat” seperti itu amat memprihatinkan Kartini. Meruntuhkannya dapat dilakukan semua orang. Tetapi yang menjadi permasalahannya bagaimana mengganti dan membangunnya? Sedangkan kepercayaan yang sejati itu bukan dipusakai tetapi sebagai proses kejiwaan, yang mustahil dapat diperoleh tanpa “pendidikan akhlak, pendidikan watak, pendidikan agama” yang intensif. “Hati kami tidak senang bahwa mereka yang sederhana pikirannya itu memandang kami berkekuatan gaib, yang tidak ada pada kami maupun pada orang lain”. (Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, 12 Desember 1902).
Sikap Kartini ini merupakan penghayatan yang mendalam terhadap isi kandungan surat al-Ikhlas [112] diantaranya “Allahush Shamad – Allah tempat menggantungkan segala pengharapan”.
Bagaimana sikap dan pendiriannya tentang takdir? Dalam suratnya kepada Ny.R.M. Abendanon, 27 Oktober 1902 ia menyatakan, “Nasib tiap manusia telah ditentukan sebelum ia lahir. Tiada seorang manusia pun sanggup menolak apa yang sudah ditakdirkan Allah. Tetapi sebelum kecelakaan itu terjadi, wajiblah sungguh-sungguh berikhtiar menolaknya. Jika kecelakaan itu datang juga menimpa sudahlah, itu “takdir”. Dan tidak ada sesuatupun di dunia ini yang sanggup melawan takdir. Tahukah nyonya, apa artinya ini bagi kami? Kami harus tekun, maju terus, biarlah terjadi apa yang akan terjadi. Dan mereka akan menerimanya dengan tawakal serta berkata “sudah takdirnya”. Sebelum terjadinya, kami akan terus menerus dirintangi. Kalau sudah menghadapi kenyataan, maka mereka berpendapat, itu “sudah takdir”. Dan mereka akan tawakal. Mudah-mudahan Allah memberi kami kekuatan!”.
Itulah sejatinya sikap dan kepribadian Ibu Pertiwi – Putri Sejati, Putri Indonesia yang sesungguhnya, sekalipun ia memakai “konde” tetapi tidak melupakan syariat Islam dan sangat menentang bid’ah dan khurafat. Allahummaghfir Laha Warhamha Waj’al Jannata Ma’waha. Amin!
Billahi Fi Sabilil Haq!
Shofyan Achmad